WahanaNews.co, Jakarta – Terkait pernyataan terpidana Saka Tatal yang mengaku jadi korban salah tangkap dalam kasus pembunuhan Vina di Cirebon pada 2016 silam, Kompolnas mengaku bakal menyurati Polda Jawa Barat.
Anggota Kompolnas Yusuf Warsyim menyebut pengakuan Saka tersebut telah menjadi perhatian pihaknya, dan bakal menjadi salah satu materi klarifikasi ke Polda Jawa Barat.
Baca Juga:
Saat Saka Tatal Jalani Ritual Sumpah Pocong, Iptu Rudiana Tidak Hadir
"Terkait penjelasan terpidana itu tentu menjadi catatan Kompolnas sebagai pengawas eksternal Polri. Kompolnas sudah menyampaikan permintaan klarifikasi kepada Polda Jabar," ujarnya kepada wartawan, Selasa (21/5/2024) melansir CNN Indonesia.
Lewat klarifikasi tersebut, Yusuf mengaku pihaknya bakal meneliti seluruh proses penyelidikan dan penyidikan kasus tersebut. Mulai dari ketika ditangani oleh Polres Cirebon Kota hingga akhirnya dilimpahkan ke Polda Jawa Barat.
"Dari sana nanti kita lihat, apakah ada keluhan dan keberatan para tersangka sebagaimana keluhan dipaksa mengaku dari salah satu yang saat itu tersangkanya," jelasnya.
Baca Juga:
Hakim Tegur Farhat Abbas di Sidang PK Saka Tatal
Lebih lanjut, Yusuf mengaku juga akan turut mengecek ke Divisi Propam Polda Jawa Barat terkait pengaduan proses penyidikan yang disebut sempat dilaporkan para tersangka.
"Termasuk apabila ada pengaduan ke Propam saat itu, akan kita lihat bagaimana tindakl anjutnya," tuturnya.
Sebelumnya salah satu terpidana kasus pembunuhan pasangan kekasih Vina dan Eky di Cirebon, Saka Tatal, mengaku menjadi korban salah tangkap oleh pihak kepolisian.
Saka mengklaim dirinya tidak pernah mengenal sosok kedua korban pembunuhan tersebut. Karenanya, ia mengaku heran mengapa polisi turut menyeret dirinya dalam kasus itu.
"Sama korban saya enggak kenal, saya bingung dan takut saat itu. Karena saya dipaksa sampai dipukul, ditendang, disetrum disuruh ngaku," ujarnya kepada wartawan, Sabtu (18/5).
Saka menjelaskan penangkapan dirinya terjadi pada 31 Agustus 2016, ketika masih berusia 15 tahun. Ia mengaku ketika itu tengah dimintai tolong oleh pamannya, Eka Sandi untuk mengisi bensin sepedea motor.
Eka merupakan salah satu pelaku di kasus pembunuhan Vina dan Eky. Ketika hendak mengembalikan motor itulah, kata dia, terdapat sejumlah anggota polisi di lokasi dan tengah mengamankan beberapa orang, termasuk pamannya.
Saka mengklaim tak diberikan penjelasan apapun oleh aparat kepolisian dan langsung dibawa ke Kantor Polres Cirebon Kota bersama yang lain.
"Motor saja belum dikasihin ke paman saya, tahu-tahu langsung ditangkap. Pas nangkap enggak ada penjelasan apapun, terus saya dibawa ke Polres Cirebon Kota," tuturnya.
Lapor penyiksaan polisi ke Komnas HAM
Selain itu, Saka dan tiga terpidana lain ternyata pernah melaporkan dugaan penganiyaan aparat untuk penetapan tersangka itu ke Komnas HAM pada 2016 silam.
Soal laporan itu pun dikonfirmasi Komnas HAM, dan telah mempertanyakan ke Polda Jabar.
Koordinator Subkomisi Penegakan HAM Uli Parulian mengatakan pengaduan itu dilakukan oleh keempat pelaku yakni Hadi Saputra, Suprianto, Eko Ramadani dan Saka Tatal pada 13 September 2016.
Dalam laporannya, Uli mengatakan, mereka mengaku dihalangi bertemu dengan keluarga dan kuasa hukum oleh penyidik. Selain itu, penyidik juga disebut turut melakukan penyiksaan dan memaksa mereka untuk mengaku sebagai pelaku.
"Isu yang diadukan mengenai dugaan penghalangan bertemu dengan keluarga dan kuasa hukum, pemaksaan pengakuan sebagai pelaku, serta dugaan penyiksaan," jelasnya dalam keterangan tertulis, Selasa (21/5).
Setelah menerima laporan tersebut, Uli menyebut Komnas HAM sempat meminta klarifikasi kepada Irwasda Polda Jawa Barat melalui surat Nomor 0.131/K/PMT/I/2017 pada Jumat 20 Januari 2017.
Uli mengatakan lewat surat itu Komnas HAM meminta Irwasda Polda Jawa Barat untuk memeriks para penyidik yang diduga melakukan penyiksaan serta menjamin hak-hak para tersangka sesuai ketentuan Undang-Undang.
Terkini, kata dia, Komnas HAM juga kembali menyurati Polda Jawa Barat untuk meminta perkembangan pencarian 3 orang pelaku yang telah ditetapkan sebagai DPO dalam kasus tersebut.
[Redaktur: Alpredo Gultom]