WahanaNews.co | Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menjadi buah bibir
usai kembali memotong hukuman terdakwa kasus korupsi.
Teranyar, pengusaha
Djoko Soegiarto Tjandradan jaksa Pinangki Sirna Malasarimendapat "kebaikan"
majelis hakim di tingkat banding tersebut.
Baca Juga:
Puluhan Ribu Massa Pendukung Tumpah Ruah, Abdul Faris Umlati dan Petrus Kasihiw Kampanye Akbar di Alun-Alun Aimas
Djoko dihukum dengan
pidana penjara 3,5 tahun, berkurang satu tahun dari vonis pengadilan tingkat
pertama.
Hal yang meringankan hukuman
Djoko karena yang bersangkutan telah menjalani pidana penjara atas kasus hak
tagih (cessie) Bank Bali dan telah
menyerahkan dana dalam Escrow Account
atas rekening Bank Bali qq PT Era Giat Prima miliknya sebesar Rp 546.468.544.738.
Sedangkan hukuman
Pinangki menjadi empat tahun penjara dari semula 10 tahun.
Baca Juga:
Mahkamah Agung Kabulkan Gugatan Abdul Faris Umlati, ARUS Terus Melaju
Hakim tingkat banding
mengungkapkan sejumlah hal meringankan.
Pinangki dinilai telah
mengakui perbuatannya dan menyesal, ikhlas dipecat sebagai jaksa, bisa
diharapkan menjadi warga yang baik, dan seorang Ibu yang mempunyai anak berusia
empat tahun sehingga layak diberi kesempatan untuk mengasuh dan memberi kasih
sayang dalam masa pertumbuhan buah hati.
Sementara itu,
berdasarkan catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sepanjang tahun
2019-2020 sudah ada 20 perkara yang ditangani KPK di mana hukuman terhadap para
terdakwa korupsi dikurangi oleh MA,
baik di tingkat kasasi maupun peninjauan kembali.
Beberapa di antara
pelaku korupsi itu ialah pengusaha Billy Sindoro, pengacara kawakan OC Kaligis,
mantan Ketua DPD Irman Gusman, mantan hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis
Akbar, mantan anggota Fraksi Gerindra DPRD DKI Jakarta Mohamad Sanusi, hingga
Andi Zulkarnaen Mallarangeng alias Choel Mallarangeng.
KPK menilai, diskon hukuman bagi para pelaku korupsi dapat
menurunkan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan.
Selain itu, korting
hukuman koruptor juga bisa menggerus efek jera.
"Sebagai garda
terdepan bagi para pencari keadilan, KPK pastikan fenomena ini juga akan
memberikan image buruk di hadapan masyarakat yang makin kritis terhadap putusan
peradilan, yang pada gilirannya tingkat kepercayaan publik atas lembaga
peradilan pun semakin tergerus," kata Plt Juru Bicara Penindakan KPK, Ali
Fikri, beberapa waktu lalu.
Sementara itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai, fenomena diskon hukuman para koruptor
memperlihatkan bahwa agenda pemberantasan korupsi saat ini tidak lagi menjadi
perhatian.
Lembaga peradilan
dinilai tak berpihak pada pemberantasan korupsi.
Berdasarkan pemantauan
persidangan, ICW menemukan rata-rata hukuman koruptor sepanjang tahun 2020
hanya 3 tahun 1 bulan penjara.
"Ini sekaligus
memperlihatkan secara jelas bahwa lembaga kekuasaan kehakiman kian tidak
berpihak pada upaya pemberantasan korupsi," kata peneliti ICW, Kurnia
Ramadhana, Jumat (30/7/2021).
Kurnia menyoroti perihal
Peraturan Mahkamah Agung (Perma) tentang pedoman pemidanaan pada seluruh
tingkat peradilan.
Perma itu berisi pedoman
pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang satu di antaranya mengatur korupsi di atas Rp100 miliar dapat
dipidana seumur hidup.
Kurnia meminta agar
hakim di seluruh tingkatan peradilan dapat mengimplementasikan Perma tersebut.
"MA juga harus
menegaskan sanksi apa yang dapat dijatuhkan kepada hakim ketika tidak mengikuti
Perma 1/2020 ini. Misalnya, ketika hakim tidak mengikuti Perma maka dapat
dijadikan alasan bagi masyarakat untuk melaporkan yang bersangkutan ke Badan
Pengawas MA," ujarnya.
Koordinator Masyarakat
Anti-Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, menuturkan,
banyak faktor yang melatarbelakangi pemberian diskon hukuman para pelaku
korupsi menjadi marak pada akhir-akhir ini.
Di antaranya seperti
perspektif korupsi yang dianggap bukan lagi kejahatan luar biasa hingga purnatugas
almarhum Artidjo Alkostar.
"Itu kemudian
seakan-akan setelah Artidjo enggak ada maka kemudian sesuatu menjadi
keberbalikan. Dulu kalau Artidjo hukuman [koruptor] naik, nah sekarang kalaupun
tidak naik, [hukuman] tetap," kata Boyamin.
Boyamin menyebut, kondisi tersebut merupakan permasalahan yang sangat
serius.
Oleh karena itu, kata
dia, setiap hakim yang memberikan vonis ringan terhadap terdakwa korupsi harus
dilakukan pembinaan.
"Pertimbangan
diskon hukuman sudah aneh-aneh. Itu harus jadi perhatian Komisi Yudisial dan
Badan Pengawas MA untuk melakukan pembinaan. Kalau perlu orang-orang yang
memutus itu tidak layak promosi, naik pangkat, dan sebagainya," ujarnya. [qnt]