Wijayanto menilai bahwa dampak kebijakan ini akan meningkatkan risiko investasi global.
Fenomena “fly to quality” akan terjadi, di mana investor mencari aset yang lebih aman seperti emas, surat utang pemerintah, dan mata uang kuat.
Baca Juga:
Zohran Mamdani Dituding Komunis, Trump Ancam Bekukan Dana Kota
“Ekonomi banyak negara akan terdampak, baik melalui transmisi perdagangan maupun investasi. Pasar saham global akan semakin volatil, dan nilai tukar berbagai negara cenderung melemah,” ujarnya.
Bagi Indonesia, dampaknya bisa terlihat dari pelemahan pertumbuhan ekonomi yang membuat target 5% tahun ini semakin sulit tercapai.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga diperkirakan akan semakin berfluktuasi, terutama di sektor yang bergantung pada ekspor.
Baca Juga:
Ketegangan AS-Iran Kembali Membara Lewat 'Mulut Pedas' Trump
Rupiah pun akan tertekan, sementara kebutuhan pembiayaan utang senilai Rp 800 triliun hingga Rp 700 triliun tahun ini menjadi tantangan besar.
“Mengingat ekspor utama Indonesia ke AS berasal dari sektor padat karya seperti tekstil, produk karet, alat listrik, dan elektronik, tekanan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bisa meningkat,” tambahnya.
Berbeda dengan Fadhil yang mendorong jalur negosiasi, Wijayanto menilai langkah tersebut sulit dilakukan.