Peneliti dari Institut Urusan Internasional dan Keamanan Jerman, Peter Lintl, mengatakan bahwa kabinet perang dibentuk karena kabinet reguler Israel sangat pro-pemerintah, dan kabinet perang dianggap lebih seimbang bagi semua pihak di Israel.
Sebelum serangan Hamas dan pembentukan Kabinet Perang, pemerintahan Netanyahu sedang berada di ujung tanduk karena rencana reformasi peradilannya.
Baca Juga:
Kerap Diserang Israel, PBB Sebut Argentina Jadi Negara Pertama Tarik Pasukan dari UNIFIL
Merangkul semua pihak, termasuk oposisi, menjadi cara untuk meredakan situasi panas di negara itu.
"Kontroversi seputar reformasi peradilannya telah membuat Netanyahu kehilangan banyak dukungan," kata Lintl. "Serangan teror Hamas pada 7 Oktober hanya meningkatkan tekanan terhadapnya," lanjutnya.
Kabinet Perang memiliki lebih banyak legitimasi untuk membuat keputusan politik dan militer yang lebih luas mengenai operasi di Jalur Gaza.
Baca Juga:
Netanyahu Tawarkan Rp79 Miliar untuk Bebaskan Satu Sandera di Gaza
Pada 9 Juni lalu, Gantz memutuskan keluar dari Kabinet Perang karena kecewa dengan Netanyahu yang tidak menyetujui rencana pascaperang di Gaza.
Tak lama kemudian, Gadi Eisenkot juga mengikuti langkah Gantz, meninggalkan kabinet yang hanya menyisakan Netanyahu, Gallant, Ron Dermer, dan Aryeh Deri sebelum akhirnya dibubarkan.
[Redaktur: Elsya TA]
Ikuti update
berita pilihan dan
breaking news WahanaNews.co lewat Grup Telegram "WahanaNews.co News Update" dengan install aplikasi Telegram di ponsel, klik
https://t.me/WahanaNews, lalu join.