WahanaNews.co | Angka partisipasi pemilu di Irak mencetak rekor terendah sejak kejatuhan Saddam Hussein di angka 41 persen.
Padahal, pemilu 2018 lalu masih menjaring sekitar 44 persen pemilih, tulis Komisi Pemilihan Umum Irak, Senin (11/10/2021).
Baca Juga:
2 Terduga Teroris Jaringan ISIS Ditangkap Densus 88 di Jakarta Barat
Pemilihan umum legislatif pada Minggu (10/10) di Irak dimajukan dari yang sedianya akan digelar pada 2022. Hal ini dilakukan menyusul reformasi sistem pemilu untuk mengikuti tuntutan kaum muda yang berdemonstrasi menentang korupsi antara 2019 dan 2020.
Namun meski pemerintah mengalah dan menggodok ulang sistem pemilihan umum, sebagian besar demonstran menyerukan aksi boikot dan mengajak warga menjauhi tempat pemungutan suara.
Penyebabnya adalah keengganan pemerintah mengungkap dan mengusut kasus kematian demonstran, dan pembunuhan ekstra yudisial oleh aparat keamanan.
Baca Juga:
Dalang Penembakan Massal di Moskow Diduga ISIS Cabang Afghanistan
Jalannya pencoblosan suara berlangsung di bawah pengamanan ketat.
Faksi-faksi bersenjata yang berafiliasi dengan salah satu parpol terlihat ikut berjaga-jaga, bersama dengan aparat keamanan. Bandar udara ditutup dan pemilih harus melalui pemeriksaan ketat sebelum diizinkan mencoblos.
Ancaman keamanan meningkat sejak Islamic State menyerang sebuah TPS di utara Irak dan menewaskan seorang aparat kepolisian.
Pada Senin, Perdana Menteri Mustafa al Khadimi mengumumkan pihaknya berhasil menahan Sami Jasim al-Jaburi, tangan kanan dedengkot ISIS, Abu Bakar al Baghdadi, dalam sebuah operasi keamanan "di luar perbatasan Irak," tulisnya via Twitter.
Hingga kini belum jelas siapa yang mengumpulkan suara terbanyak dalam pemilu teranyar. UU Pemilu yang baru memang membuka peluang bagi calon independen yang diusung kelompok demonstran.
Namun mereka diyakini akan kalah bersaing dengan calon dari partai politik yang kebanyakan didukung milisi-milisi bersenjata terbesar di Irak.
Dominasi Syiah terancam perpecahan
"Ketidakpercayaan publik sangat rendah. Mereka tidak lagi percaya pemilu bisa membawa perubahan," kata peneliti politik Irak, Sajad Jiyad, di wadah pemikir Century Foundation. "Tingkat partisipasi ini adalah peringatan. Karena bukan cuma legitimasi perdana menteri yang dipertanyakan, tetapi juga legitimasi pemerintah, negara dan semua sistem."
Kelompok-kelompok yang berafiliasi dengan faksi Syiah diyakini akan mendulang suara terbanyak, sebagaimana yang lazim sejak pemilu 2003. Suara Syiah di Irak kali ini terbelah dua, antara Moqtada Sadr dan Aliansi Fatah pimpinan Hadi al-Ameri yang berkiblat kepada Iran.
Aliansi Fatah terdiri dari sejumlah partai-partai politik yang berkaitan dengan Pasukan Mobilisasi Rakyat (PMF).
Kelompok ini mendulang dukungan politik setelah ikut membantu menaklukkan Islamic State, dan diperkuat gerilayawan binaan Iran, seperti milisi Asain Ahlul Haq yang dikategorikan sebagai kelompok teror oleh AS.
Adapun al-Sadr merupakan salah satu tokoh Syiah paling berpengaruh di Irak, yang meski begitu tetap menolak campur tangan Iran. Ia menggunakan platform nasionalisme sebagai kendaraan politik.
Faksinya yang bernama Gerakan Sadrist dipercaya akan mengumpulkan suara mayoritas. Pada 2018 silam, Aliansi Saeroon yang dibentuk al-Sadr merebut 54 kursi di parlemen. Adapun pesaingnya, Aliansi Fatah, menguasai 48 kursi dalam pemilu terakhir.
Di bawah UU Pemilu Irak yang telah diamandemen, partai yang menguasai kursi terbanyak berhak menunjuk perdana menteri baru. Kandidat tidak lagi diwajibkan memiliki afiliasi politik dengan parpol tertentu.
Diyakini, pencoblosan tidak akan menghasilkan kekuatan dominan di parlemen. Sebabnya pembentukan pemerintahan baru akan banyak bergantung pada perundingan koalisi. [rin]