Keputusan PBB untuk menolak duta besar untuk PBB yang baru dari Afghanistan, Myanmar, dan Libya memberikan legitimasi yang kuat terhadap duta besar petahana dari ketiga negara tersebut.
Berkat legitimasi tersebut, para duta besar petahana masih memiliki kuasa untuk menolak mewakili pandangan rezim pemerintah yang berkuasa.
Baca Juga:
RI-AS Kecam Kekerasan Terhadap Warga Sipil yang Berlanjut di Myanmar
Hal ini dikarenakan kursi duta besar ketiga negara yang diduduki saat ini diisi oleh pejabat tinggi negara dari rezim pemerintah sebelumnya yang memiliki perbedaan pandangan politik dengan rezim pemerintah yang berkuasa saat ini.
Pada Desember 2021 lalu, Majelis Umum PBB mendukung keputusan Komite Kredensial PBB untuk menolak memberikan kredensial keanggotaan resmi PBB kepada Afghanistan, Myanmar, dan Libya.
Masih dilansir dari Reuters, Ketua Komite Kredensial PBB saat itu, Anna Karin Enestrom, mengatakan komite tidak memberikan kredensial keanggotaan kepada tiga negara tersebut karena rendahnya komitmen hukum pemerintah ketiga negara untuk menjalankan kegiatan pemerintahan yang berlandaskan pada prinsip inklusivitas, penegakan demokrasi dan HAM, dan kesetaraan gender.
Baca Juga:
KTT Liga Arab dan OKI Sepakati Tekanan Global: Cabut Keanggotaan Israel dari PBB Segera!
Diplomat yang juga menjabat sebagai duta besar Swedia untuk PBB tersebut mengatakan keputusan pemberian kredensial keanggotaan kepada duta besar negara anggota PBB selalu didasarkan pada kesepakatan bersama atau konsensus.
Kesepakatan tersebut terjalin antara Komite Kredensial, Majelis Umum, dan rezim pemerintah negara anggota yang sedang berkuasa saat itu. PBB mewajibkan rezim pemerintah yang berkuasa untuk membuat dan menerapkan kebijakan publik yang sesuai dengan isi Piagam PBB (United Nations Charter) yang disahkan dalam Konferensi San Fransisco yang diadakan pada 24 Oktober 1945.
Dikutip dari laman United Nations, berdasarkan Piagam PBB, PBB mewajibkan setiap negara anggota Majelis Umum PBB selalu membuat dan melaksanakan roda pemerintahan dengan menerapkan produk undang-undang kebijakan publik yang berlandaskan semangat inklusivitas, pluralisme, dan toleransi dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.