WAHANANEWS.CO, Jakarta - Kasus pembunuhan remaja berinisial FA (16) pada April 2024 masih menyisakan polemik. FA tewas setelah dipaksa mengonsumsi narkoba oleh Arif Nugroho (AN) dan Muhammad Bayu Hartanto di sebuah hotel di Jakarta Selatan.
Sementara itu, rekannya yang berinisial APS (16) selamat dari insiden tersebut.
Baca Juga:
Tangani Kasus Pembunuhan Gadis Remaja Open BO, Awal Dugaan AKBP Bintoro Peras Rp20 Miliar
Perkembangan terbaru dalam kasus ini menyeret nama AKBP Bintoro, mantan Kasat Reskrim Polres Metro Jakarta Selatan, yang diduga melakukan pemerasan terhadap Arif Nugroho dan Bayu Hartanto.
Kasus ini kembali menjadi sorotan publik setelah Arif dan Bayu mengajukan gugatan perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan nomor perkara 30/Pdt.G/2025/PN JKT.SEL.
Dalam gugatannya, Arif dan Bayu, melalui kuasa hukum Pahala Manurung, menggugat AKBP Bintoro, AKP Mariana, AKP Ahmad Zakaria, serta dua advokat, Evelin Dohar Hutagalung dan Herry.
Baca Juga:
AKBP Bintoro Diduga Peras Rp 20 Miliar, IPW Desak Propam Turun Tangan
Mereka menuntut pengembalian uang sebesar Rp1,6 miliar serta sejumlah kendaraan mewah, termasuk mobil Lamborghini Aventador, motor Sportster Iron, dan motor BMW HP4.
Tak hanya itu, Arif dan Bayu juga melaporkan mantan kuasa hukumnya, Evelin Dohar Hutagalung, ke Polda Metro Jaya atas dugaan penggelapan.
Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Ade Ary Syam Indradi, mengungkapkan bahwa Evelin meminta Arif menjual mobil Lamborghini untuk biaya penanganan hukum.
Namun, hasil penjualan senilai Rp3,5 miliar tersebut tidak diserahkan kepada kliennya, sehingga mereka merasa dirugikan hingga Rp6,5 miliar.
Dugaan pemerasan terhadap Arif dan Bayu semakin berkembang dengan munculnya klaim berbagai nominal, mulai dari Rp20 miliar, Rp17,1 miliar, hingga Rp5 miliar. Kuasa hukum Arif dan Bayu yang baru, Pahala Manurung, menyebut bahwa kliennya mengalami kerugian sebesar Rp17 miliar lebih.
Sementara itu, AKBP Bintoro membantah tuduhan tersebut dan menyebutnya sebagai fitnah. Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso, mengungkapkan bahwa berdasarkan informasi terakhir yang ia terima, AKBP Bintoro hanya menerima Rp140 juta untuk menangguhkan penahanan Arif dan Bayu.
Ia menduga bahwa nama AKBP Bintoro dicatut oleh Evelin Dohar Hutagalung yang kemudian mengambil uang tersebut.
Polda Metro Jaya menyatakan bahwa AKBP Bintoro telah mengakui penyalahgunaan wewenang setelah diperiksa oleh Bidang Propam Polda Metro Jaya.
Akibatnya, ia dimutasi dan ditempatkan dalam penugasan khusus (patsus). Selain Bintoro, AKBP Gogo Galesung yang menjabat sebagai Kasat Reskrim setelahnya, serta dua anggota Polres Metro Jakarta Selatan berinisial Z dan ND, juga menjalani patsus karena diduga terlibat dalam kasus ini.
Saat ini, Polda Metro Jaya tengah mempersiapkan sidang kode etik untuk menentukan sanksi terhadap AKBP Bintoro dan pihak-pihak terkait.
Uang Damai
Selain mencoba menyuap aparat kepolisian, Arif dan Bayu juga melakukan berbagai upaya untuk lepas dari jerat hukum.
Salah satu upaya yang ditempuh adalah melakukan kesepakatan damai dengan keluarga korban. Arif Nugroho, yang kemudian diketahui sebagai anak angkat pemilik Prodia, memilih untuk menawarkan sejumlah uang kepada keluarga FA.
Dana sebesar Rp300 juta diberikan kepada keluarga FA di sebuah rumah makan Padang yang berlokasi dekat Polres Metro Jakarta Selatan.
Langkah ini diambil setelah Radiman, ayah FA, melaporkan kasus pembunuhan anaknya ke Polres Metro Jakarta Selatan. Setelah laporan dibuat, pihak keluarga tersangka Arif beberapa kali mendatangi rumah keluarga FA di kawasan Angke, Tambora, Jakarta Barat, dengan maksud mencapai kesepakatan damai.
"Mereka sering memberikan uang duka, uang untuk tahlilan, dan bentuk santunan lainnya kepada Pak Radiman. Saat itu, jumlahnya baru mencapai Rp20 juta," ujar kuasa hukum keluarga korban, Toni RM, melansir Tribunnews, Minggu (2/1/2025).
Toni juga mengungkapkan bahwa di rumah sederhana yang berada di gang sempit itu, kliennya mendapat tekanan agar mencabut laporan dengan nomor LP/B/1181/IV/2024/SPKT/Polres Jaksel yang dibuat pada 23 April 2024.
Radiman akhirnya menerima kesepakatan damai setelah mendapatkan penjelasan bahwa kasus tersebut tetap akan berlanjut meski sudah ada perdamaian.
Arif dan Bayu tetap dijerat dengan Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan serta Pasal 359 KUHP terkait kelalaian yang menyebabkan kematian seseorang.
Dengan demikian, meskipun terjadi kesepakatan damai, proses hukum tetap berjalan karena kasus ini merupakan tindak pidana murni, bukan delik aduan.
Di Rumah Makan Padang
Pada 28 April 2025, mantan kuasa hukum Arif dan Bayu, Evelin Dohar Hutagalung, mengadakan pertemuan dengan Toni serta keluarga korban untuk membahas jalan damai.
Pertemuan berlangsung di sebuah rumah makan Padang dekat Polres Metro Jakarta Selatan.
Dalam pertemuan tersebut, tim Evelin, yang turut membawa seorang wanita yang mengaku sebagai istri Arif, menyodorkan lima lembar dokumen perjanjian perdamaian untuk ditandatangani kedua belah pihak.
"Setelah berbagai diskusi, akhirnya dicapai kesepakatan uang kompensasi sebesar Rp300 juta, yang langsung diterima oleh Pak Radiman dan istrinya," ungkap Toni.
Pasca-kesepakatan damai, pihak keluarga korban tidak lagi mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus ini.
Namun, pada September 2024, Radiman kembali dipanggil penyidik Polres Metro Jakarta Selatan untuk melengkapi berkas perkara sebelum dilimpahkan ke kejaksaan.
"Artinya, kasus ini sudah hampir final dan akan segera disidangkan," kata Toni.
Selain FA, upaya damai juga dilakukan terhadap APS (16), korban selamat dalam kasus ini.
APS disebut menerima uang Rp50 juta sebagai bagian dari kesepakatan damai. Dengan demikian, total uang yang telah diberikan oleh pihak Arif untuk menyelesaikan kasus ini mencapai Rp370 juta.
Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso, menilai bahwa pencabutan laporan menjadi salah satu penyebab mandeknya kasus ini.
"Kasus ini terhenti karena adanya pencabutan perkara setelah dilakukan perdamaian," ujarnya.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]