Bung Karno
dipindahkan dari Ende, Flores, pada 1938.
Menyadari
posisinya kian terdesak, Belanda lalu mengungsikan Bung Karno dan keluarganya
ke Padang, dan menurut rencana terus ke Australia.
Baca Juga:
Sikapi Berbagai Isu Miring, Kemenko Polhukam Panggil Pengelola PIK
Namun, karena
Belanda panik dan ketiadaan transportasi untuk membawa Bung Karno keluar
Padang, beliau masih di Padang saat Jepang masuk kota tersebut, 17 Maret 1942
(Audrey Kahin, Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatera Barat dan Politik
Indonesia 1926-1998, 2005).
Kehadiran
segera Bung Karno di Pulau Jawa dinantikan Jepang dan kawan-kawan
seperjuangannya semasa pergerakan melawan pemerintah kolonial Belanda, antara
lain Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir.
Namun,
mengingat situasi yang belum menentu di awal pendudukan Jepang, perjalanan Bung
Karno kembali ke Jawa sempat tersendat, bahkan agak dramatis.
Baca Juga:
Jokowi dan Suara Parpol soal Amandemen UUD
Dengan sebuah
perahu bermotor berukuran panjang 8 meter, Bung Karno, istrinya, Inggit
Garnasih, Kartika (anak angkat mereka), dan Riwu (pembantu keluarga sejak di
Ende, Flores), dikawal dua tentara Jepang, bertolak dari Palembang, awal Juli
1942.
Ikut pula
dalam rombongan kecil tersebut, dua anjing peliharaan keluarga Bung Karno,
Ketuk Satu dan Ketuk Dua.
Setelah
mengarungi laut bergelombang yang membuat penumpangnya ciut hati dan mabuk
laut, selama empat hari, perahu itu mendarat di pelabuhan Pasar Ikan, Jakarta,
9 Juli 1942 (Cindy Adams, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, 1965. Cetakan ke-6, 2000; John D Legge, Sukarno: Sebuah Biografi
Politik, 1972; Lambert Giebels, Soekarno:
Biografi 1901-1950, 2001; Mohammad Hatta,
Indonesian Patriot: Memoirs, 1981).