Sistem penyiaran pada era orde baru tidak hanya digunakan untuk mendukung hegemoni rezim terhadap publik dalam penguasaan wacana strategis, tetapi juga digunakan untuk mengambil keuntungan dalam kolaborasi antara segelintir elit penguasa dan pengusaha.
Proses demokratisasi di Indonesia menempatkan publik sebagai pemilik dan pengendali utama ranah penyiaran.
Baca Juga:
Buka Rakornas KPI dan Harsiarnas ke-91, Wapres: Pastikan Masukan dari Masyarakat atas Program Penyiaran Ditindaklanjuti
Seperti halnya bumi, air, tanah, udara, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya milik rakyat, maka frekuensi pun adalah milik publik dan sifat penggunaanya terbatas.
Penggunaan spektrum frekuensi harus sebesar-besarnya bagi kepentingan publik.
Sebesar-besarnya bagi kepentingan publik artinya adalah media penyiaran harus menjalankan fungsi pelayanan informasi publik yang sehat.
Baca Juga:
Kilang Pertamina Internasional Raih Sertifikasi AEO untuk Keamanan Rantai Pasok
Benang merahnya adalah, reformasi penyiaran melalui UU 32/2002 berusaha mendemoratisasi kanal informasi publik yang selama ini “dikooptasi” dan didominasi oleh negara.
Jika tadinya konten media diawasi negara melalui Departemen Penerangan, maka di masa reformasi diawasi oleh sebuah Komisi independen yang anggotanya diangkat secara fit and proper test oleh DPR sebagai wakil rakyat.
Perjalanan waktu selama dua dekade reformasi menunjukkan, penyimpangan dan bias akibat demokratisnya konten lembaga penyiaran publik juga memiliki risiko tersendiri sebagaimana sudah dibahas di atas.