Alih-alih bertahan untuk tetap berkualitas, industri penyiaran (seperti stasiun televisi) dalam sejumlah programnya justru menayangkan ulang konten media sosial, situs web dan aplikasi berbagi video Youtube yang dibahasakan kembali oleh narator pengisi suara demi mengejar sebanyak mungkin pemirsa.
Akibatnya, narasi pengetahuan publik kini pekat oleh jenis hiburan dan informasi yang kurang berkualitas, bahkan memiliki berbagai bias dalam akurasi konten maupun arah penyajiannya.
Baca Juga:
Buka Rakornas KPI dan Harsiarnas ke-91, Wapres: Pastikan Masukan dari Masyarakat atas Program Penyiaran Ditindaklanjuti
Dalam era dimana publik juga memproduksi informasi dan informasi itu dikemas ulang oleh lembaga penyiaran, maka hasilnya adalah narasi yang pekat dan bias di ruang publik digital.
Terjejali oleh informasi yang penuh hoaks dan prasangka, publik konsumen informasi jenis ini menjadi sensitif terhadap informasi yang kurang penting, kurang kritis terhadap berbagai informasi berkualitas, dan akhirnya terjebak dalam perpecahan dengan sesama warga masyarakat.
Pengendalian konten informasi dan hiburan yang semestinya dalam kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pun, masih berkutat pada soal pertimbangan berkisar norma formil dan kurang berperan lebih jauh kepada isu esensial pembangunan karakter komunikasi publik yang sehat dan dewasa.
Baca Juga:
Kilang Pertamina Internasional Raih Sertifikasi AEO untuk Keamanan Rantai Pasok
Regulasi Komisi Penyiaran masih berpatokan pada UU 32/2002 tentang Penyiaran dan Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 01/P/KPI/07/2014 tentang Kelembagaan Komisi Penyiaran Indonesia.
Disebutkan bahwa “Komisi Penyiaran Indonesia…, adalah lembaga negara yang bersifat independen, …di ibukota negara, dan di tingkat provinsi, yang tugas dan wewenangnya diatur dalam Undang-undang Nomoe 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.”
Independen yang dimaksud adalah bahwa pengelolaan sistem penyiaran harus dikelola oleh sebuah badan yang bebas dari intervensi modal maupun kepentingan kekuasaan.