Pada era Presiden ketiga RI itu, istilah pribumi dan nonpribumi dihapus. Ketentuan tersebut
berlaku sejak Habibie mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 26 tahun 1998.
Selain itu, Habibie juga mengeluarkan
Instruksi Presiden Nomor 4 tahun 1999 tentang Melaksanakan Ketentuan Keputusan
Presiden Nomor 56 Tahun 1996 Tentang Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia
dan Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998.
Baca Juga:
Hadiri Acara Panen Hasil Belajar di SMA Santa Maria Kabanjahe: Bupati Karo Ciptakan Sejarah Baru dan Dorong Kewirausahaan
Pada Inpres tersebut, pemerintah
menghapus kewajiban Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) bagi
Etnis Tionghoa.
Sebagai gantinya, mereka berhak
mendapatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) Indonesia. Mereka juga diperbolehkan mempelajari
Bahasa Mandarin.
"Berdasarkan
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 1998, segera meninjau
kembali segala peraturan yang melarang atau membatasi kursus Bahasa Mandarin," demikian bunyi butir (b) pada Inpres tersebut.
Baca Juga:
FGD FKMPS: Selamatkan Bangsa Melalui Pemahaman Sejarah
Meskipun demikian, sampai Habibie
lengser sebagai Presiden, kebijakan-kebijakan
diskriminatif terhadap etnis Tionghoa masih ada.
Inisiatif Habibie meruntuhkan
diskriminasi etnis itu lalu dilanjutkan Presiden keempat RI, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
Gus Dur, yang
menjadi Presiden setelah terpilih di MPR pada 1999, mendorong lebih jauh
kesetaraan bagi etnis Tionghoa Indonesia.