"Ekspresi budaya juga tidak
diperkenankan di arena publik, ini diskriminasi sistematis ya," kata
Johannes.
Pada 1967, Soeharto, yang saat itu sudah menyandang status Pejabat Presiden RI, mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 tahun 1967
tentang Agama Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina.
Baca Juga:
Hadiri Acara Panen Hasil Belajar di SMA Santa Maria Kabanjahe: Bupati Karo Ciptakan Sejarah Baru dan Dorong Kewirausahaan
Dalam Inpres tersebut aktivitas etnis
Tionghoa Indonesia semakin dibatasi.
"Perayaan-perayaan
pesta agama dan adat istiadat Cina dilakukan secara tidak mencolok di depan
umum, melainkan dilakukan dalam lingkungan keluarga," bunyi poin kedua dalam Inpres Nomor 14 Tahun 1967 itu.
Rezim Soeharto berdalih, Inpres itu terbit demi menyeimbangkan
asimilasi kebudayaan etnis Tionghoa pada proporsi yang
wajar.
Baca Juga:
FGD FKMPS: Selamatkan Bangsa Melalui Pemahaman Sejarah
Namun, Johanes melihat, Inpres tersebut adalah upaya untuk menghilangkan budaya-budaya
Tionghoa.
"Maksud dari asimilasi budaya,
proses Tionghoa melebur sehingga ke-Tionghoa-annya
tidak terlihat," jelasnya.
Sosiolog Ariel Heryanto, dalam bukunya, Identitas dan Kenikmatan, mencatat beberapa pelarangan budaya yang dilakukan rezim Orba di
bawah kepresidenan Soeharto selama lebih dari tiga dekade.