"Jadi kasus korupsi yang terjadi 2004 sampai 2020 itu
paling banyak karena kasus suap, itu 704 kasus. Di proyek 224 perkara,
penyalahgunaan anggaran 48 kasus dan TPPU sebanyak 36. Ini kasus-kasus yang
melibatkan kepala daerah," kata Firli.
Dalam kesempatan sama, Firli juga mengingatkan potensi
tindak pidana korupsi dalam penyelenggaraan Pilkada. Berdasar hasil Survei
Benturan Kepentingan dalam Pendanaan Pilkada oleh Direktorat Penelitian dan
Pengembangan KPK pada tahun 2015, 2017, dan 2018, ditemukan bahwa potensi
adanya benturan kepentingan berkaitan erat dengan profil penyumbang atau
donatur.
Baca Juga:
Soal OTT Capim KPK Johanis Tanak dan Benny Mamoto Beda Pandangan
Menurut Firli, sumbangan donatur atau dari hasil survei KPK
menemukan bahwa sebesar 82,3 persen dari seluruh calon kepala daerah dan wakil
kepala daerah menyatakan adanya donatur dalam pendanaan pilkada.
Sesuai catatan survei KPK, total harta rata-rata pasangan
calon adalah Rp18,03 Miliar. Bahkan, ditemukan pula ada satu pasangan calon
yang hartanya minus Rp15,17 juta. Padahal, berdasar wawancara mendalam dari
survei KPK itu, diperoleh informasi bahwa untuk bisa mengikuti tahapan Pilkada,
pasangan calon di tingkat Kabupaten/Kota harus memegang uang antara Rp5-10
Miliar, yang bila ingin menang idealnya musti mempunyai uang Rp65 Miliar.
Baca Juga:
Korupsi APD Kemenkes, KPK Ungkap Satu Tersangka Beli Pabrik Air Minum Kemasan Rp60 Miliar
Di kesempatan terpisah, Direktur Eksekutif Center for Budget
Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi menilai KPK memang perlu mengawasi pilkada
Sumbawa, apalagi dalam Pilkada itu terdapat adik dari Gubernur NTB H
Zulkieflimansyah yakni Dewi Noviani
"Tentu bisa berpontesi adanya dinasti politik. Potensi
penggunaan anggaran dan fasilitas gubernur untuk calon pilkada juga harus
mendapat perhatian. KPK juga perlu memasang mata mengawasi di sana,"
katanya.
Uchok berharap jangan sampai ada kecurangan atau permainan
dari Gubernur NTB yang dapat menguntung salah satu pasangan calon pilgub
Sumbawa.