Kebijakan itu diprediksi meningkatkan risiko di pasar
keuangan karena modal bisa mengalir kembali ke negara maju apabila terjadi
gejolak.
Dengan posisi utang yang mayoritas penarikannya dilakukan
dalam bentuk SBN, ini cukup berisiko. Apalagi, tahun depan, pemerintah
menargetkan pembiayaan utang bersumber dari SBN (neto) Rp991,3 triliun.
Baca Juga:
Bersama Timpora Kantor Imigrasi, Pemerintah Kota Bekasi Siap Awasi Pergerakan Warga Asing
Menurutnya, pemerintah lebih memilih penerbitan SBN untuk pembiayaan
utang lantaran penggunaan dananya lebih fleksibel. Hal ini berbeda dengan utang
dari pinjaman multilateral atau bilateral yang alokasinya spesifik untuk
program tertentu, memiliki disiplin fiskal ketat, serta proses lama.
"Semakin dominan SBN ini imbasnya adalah akan lebih
riskan pada stabilitas moneter dan keuangan. Sebab, ketika kepemilikan asing
mengalami penurunan tajam karena gejolak eksternal tadi, ini akan memicu
gangguan pada nilai tukar rupiah," ujarnya.
Selain itu, ia mengatakan tingkat suku bunga SBN lebih
tinggi ketimbang pinjaman bilateral dan multilateral. Oleh sebab itu, ia
mengusulkan agar pemerintah mencoba alternatif pembiayaan defisit anggaran dari
sumber non utang.
Baca Juga:
Menko Marves Sebut Prabowo Umumkan Susunan Kabinet 21 Oktober
Salah satunya, kata Bhima, adalah dana filantropis dalam
negeri.
"Dalam situasi pandemi, jumlah orang kaya di Indonesia
tambah 65 ribu orang. Mereka seharusnya didorong membentuk dana filantropis
untuk pemulihan ekonomi dan penanganan pandemi," ujarnya.
Sejalan dengan itu, pemerintah mau tidak mau harus mendorong
penerimaan pajak secara tepat sasaran. Dalam arti, pungutan pajak tidak hanya
menyasar wajib pajak yang patuh, tetapi meningkatkan kepatuhan dari wajib pajak
badan maupun individu lainnya yang masih rendah.