"Mau tidak mau pemerintah harus menyesuaikan dari sisi
belanja, khususnya belanja birokrasi ditekan. Misalnya, kenaikan gaji ASN
sebaiknya ditunda dulu biar belanja pegawai lebih hemat. Lalu, Rp384 triliun
dialokasikan untuk infrastruktur, itu sebaiknya bisa ditunda dulu
sebagian," ujarnya.
Ia mengatakan langkah itu perlu dilakukan pemerintah karena
ada beberapa risiko yang dikhawatirkan terjadi jika penarikan utang tidak
diimbangi dengan pengelolaan secara prudent. Risiko pertama, tambahan utang
berpotensi menjadi beban bagi perekonomian, alih-alih menggerakkannya.
Baca Juga:
Bersama Timpora Kantor Imigrasi, Pemerintah Kota Bekasi Siap Awasi Pergerakan Warga Asing
Kemenkeu Siapkan Rp 266
Triliun untuk Gaji PNS 2022
Tanpa pengelolaan yang prudent, kenaikan utang yang tidak
diimbangi kemampuan bayar hanya akan mengerek beban pembayaran bunga utang.
Konsekuensinya, ruang fiskal semakin sempit sehingga pemerintah tidak memiliki
banyak ruang untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian anggaran apabila terjadi
gejolak.
Baca Juga:
Menko Marves Sebut Prabowo Umumkan Susunan Kabinet 21 Oktober
"Ini yang cukup dikhawatirkan sehingga bisa mengarah
bagi overhang, artinya utang bukan lagi menjadi leverage bagi perekonomian,
tapi justru bisa turunkan potensi pertumbuhan ekonomi. Sebab, lebih berat bayar
bunga utang dan belanja yang sifatnya konsumtif," ujarnya.
Kedua, risiko global yang membayangi ekonomi dalam negeri
tahun depan. Risiko itu berbentuk pengetatan kebijakan moneter AS (tapering off).
Infografis Alokasi Belanja Negara yang Digelontorkan Jokowi
di RAPBN 2022. (CNNIndonesia/Basith Subastian).