Sepakat, Ekonom Institute for Development of Economics and
Finance (Indef) Nailul Huda menilai masih ada ruang untuk melakukan refocussing
anggaran. Dengan demikian, jumlah utang pun bisa ditekan.
Mengamini pernyataan Bhima, ia menyatakan pemerintah
sebaiknya memangkas anggaran infrastruktur tahun depan karena dianggap belum
prioritas.
Baca Juga:
Bersama Timpora Kantor Imigrasi, Pemerintah Kota Bekasi Siap Awasi Pergerakan Warga Asing
"Maka memang sangat penting refocusing anggaran
dilakukan saat ini. Ruang untuk refocusing ini sangat terbuka. Alokasi
infrastruktur, perjalanan dinas, dan sebagainya masih bisa digunakan untuk
penanganan pandemi," tuturnya.
Selain refocusing anggaran, ia menuturkan pemerintah bisa
mengoptimalkan penggunaan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) maupun saldo
anggaran lebih (SAL) dari APBN. Sebetulnya, langkah ini sudah direncanakan oleh
Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk mengurangi kebutuhan penarikan utang di 2021
sebesar Rp150,8 triliun.
"Masih terdapat sisa anggaran yang artinya uang tidak
digunakan sepenuhnya. Patut dipertanyakan penganggaran di APBN ketika ada SiLPA
kita malah utang," ujarnya.
Baca Juga:
Menko Marves Sebut Prabowo Umumkan Susunan Kabinet 21 Oktober
Menurutnya, permasalahan utang tidak bisa dianggap enteng.
Apalagi, defisit keseimbangan primer semakin lebar, akibat pandemi covid-19.
Keseimbangan primer adalah selisih dari total pendapatan
negara dikurangi belanja negara di luar pembayaran bunga utang. Keseimbangan
primer bernilai negatif atau mengalami defisit jika total pendapatan negara
lebih kecil daripada belanja negara di luar pembayaran bunga utang.
Nailul mengatakan defisit keseimbangan primer
mengindikasikan bahwa untuk membayar utang, pemerintah harus menarik utang
baru, alias gali lubang tutup lubang. Hingga Juni 2021, keseimbangan primer
minus Rp116,3 triliun. Sepanjang tahun ini, keseimbangan primer diprediksi
defisit Rp633,11 triliun.