Konflik antar agama karena klaim kebenaran adalah bukti dari perbedaan tafsir itu.
Pada peradaban modern sekarang ini, kehidupan manusia beragama ditandai dengan berbagai proses estetisasi dan individualisasi, yakni menguatnya kecenderungan hidup sebagai proses seni di satu pihak, dan pemuasan hasrat individu di lain pihak.
Baca Juga:
Merasa Dirugikan, 2 Warga Jakarta Gugat Aturan ke MK Agar Bisa Hidup di RI Tanpa Beragama
Produk yang dikonsumsi tidak dilihat dari fungsi, tetapi dari simbol yang berkaitan dengan identitas status yang bermuara pada cinta diri dan pengabaian nilai sosial.
Pada kecenderungan ini, esensi kehidupan menjadi tidak penting, karena sebagai sebuah seni, kehidupan itu memiliki makna keindahan sehingga yang dihayati dari hidup itu adalah citra (Simmel, 1991).
Makanan bukan lagi merupakan proses pemuasan kebutuhan biologis, tetapi lebih merupakan kebutuhan simbolis yang dikaitkan dengan jenis makanan, tempat makan, dan suasana yang dihadirkan pada saat makan.
Baca Juga:
Selebgram Medan Ratu Entok Ditahan, Kasus Yesus Diminta Potong Rambut
Tata makan dan seni di dalam praktik makan, telah membentuk suatu lingkaran nilai yang menjauhkan praktik makan dari nilai esensialnya (Abdullah, 2006:114 ).
Hal yang demikian juga terjadi pada agama.
Kehadiran agama tidak lagi disadari sebagai sumber nilai moral, tetapi pada akhirnya membawa orang pada penghayatan yang estetis dan invidualistis.