Untuk menjawab pertanyaan ini, kami melakukan survei nasional jelang Pemilu 2019 terhadap 1.520 responden untuk menguji hubungan antara polarisasi dan ketidaksukaan (resentment).
Kami menggunakan teori resentment (Kinder dan Sanders 1996) --keyakinan bahwa kelompok lain dianggap tidak layak mendapat keistimewaan dengan mengorbankan yang lain-- dan mengadaptasikannya dalam konteks Indonesia.
Baca Juga:
Dua Oknum ASN Pemkab Manokwari Disebut Bawaslu Langgar Netralitas
Teori resentment ini membantu kita menjawab pertanyaan mengapa polarisasi menguat di negara seperti Indonesia yang memiliki tingkat kedekatan terhadap partai (party ID) yang rendah, di mana perilaku politik partai tidak ditentukan oleh perbedaan ideologis, tapi lebih karena faktor perebutan akses ke kekuasaan.
Dengan menggabungkan aspek historis Indonesia dan keilmuan kontemporer, kami mengembangkan indeks psikometri untuk mengukur empat jenis ketidaksukaan yang mencakup ketidaksukaan (resentment) pertama, terhadap minoritas nonmuslim; kedua, terhadap etnik Tionghoa; ketiga, terhadap Jawa; dan keempat, terhadap daerah lain.
Setiap dimensi ketidaksukaan ini mencakup beberapa pertanyaan dalam skala tingkat persetujuan dalam lima tingkat.
Baca Juga:
KPU Bone Bolango Sosialisasikan Pembentukan Pantarlih untuk Pemilihan Bupati Tahun 2024
Ketidaksukaan terhadap nonmuslim diukur oleh penilaian responden terhadap dominasi politik dan ekonomi mereka.
Resentment terhadap Tionghoa diukur oleh seberapa setuju bahwa etnik ini mendapat keuntungan dibanding suku lain dan prasangka terhadap Tionghoa.
Pertanyaan kami tentang ketidaksukaan terhadap Jawa mencakup aspek politik, budaya, dan agama.