Hal ini adalah lonceng berbahaya karena menunjukkan bahwa satu dekade terakhir, yang diwarnai polarisasi politik yang tinggi dalam fitur elektoral kita, telah berdampak negatif terhadap generasi muda.
Masalahnya adalah banyak politisi yang berpikir jangka pendek tanpa menghitung efek jangka panjang jika mereka menggunakan sentimen negatif di atas sebagai bahan bakar meraup dukungan suara.
Baca Juga:
Dua Oknum ASN Pemkab Manokwari Disebut Bawaslu Langgar Netralitas
Ironisnya, studi ini juga menemukan korelasi antara tingkat kebencian terhadap kelompok sosial tertentu dan dukungan politik, baik dalam pilpres maupun pemilihan legislatif.
Temuan ini membuktikan bahwa polarisasi partisan tidak sekadar bersifat temporer, tapi berakar pada pembelahan sosial yang sudah berlangsung lama dan permanen.
Dengan demikian, polarisasi politik akan terus mewarnai politik elektoral kita ke depan.
Baca Juga:
KPU Bone Bolango Sosialisasikan Pembentukan Pantarlih untuk Pemilihan Bupati Tahun 2024
Masuknya Prabowo dan Gerindra ke dalam pemerintahan Jokowi beberapa waktu lalu tidak secara otomatis menghilangkan residu polarisasi pasca-pemilu.
Dengan kata lain, polarisasi akan berlanjut meskipun Jokowi dan Prabowo tidak lagi bertarung di Pemilu 2024.
Oleh karena itu, semua pihak harus menghentikan eksperimen berbahaya yang menjadikan kebencian berbasis SARA sebagai amunisi untuk meraup dukungan elektoral.