Meskipun demikian, dalam pandangan penulis, tampaknya substansi dalam RUU KUHP memiliki irisan konsep restorative justice yang didasarkan pada tiga kriteria berikut:
Pertama, mulainya penataan mengenai kearifan lokal atau penerapan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law).
Baca Juga:
Status Tersangka Bos Pallubasa Kasus Kecelakaan Maut Dicabut Polisi
Pengaturan ini memang telah menimbulkan diskurus mengenai sejauh mana hukum yang diakui, implikasi terhadap pelaksanannya dan apakah penerapannya justru bertentangan dengan konsep hak asasi manusia yang menghindari perlakuan kejam dan tidak manusiawi.
Oleh karena itu, penting pembatasan mengenai kriteria kerugian dan syarat untuk tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, konstitusi, hak asasi manusia dan prinsip umum dalam negara demokratis.
Kedua, perubahan paradigmatik mengenai konsepsi penghukuman yang mulai beralih dari konsep konsepsi pembalasan (retributif/absolute) yang berupaya semaksimal mungkin memberikan efek jera dengan penghukuman yang keras berubah menjadi konsep verbeterings/rehabilitasi dengan fokus pada perbaikan pelaku untuk dapat berintergrasi dengan masyarakat.
Baca Juga:
Dugaan Penggelapan Rp6,9 Miliar, Polisi Siap Mediasi Tiko dan Mantan Istri
Ketiga, pidana kerja sosial dapat diterapkan kepada terdakwa yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara kurang dari 5 (lima) tahun dan hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau jumlah denda tertentu.
Pidana kerja sosial dijatuhkan paling singkat 8 (delapan) jam dan paling lama 240 (dua ratus empat puluh) jam.
Keempat, penguatan terhadap mekanisme judicial pardon yang secara konsep diarahkan pada pemberian kewenangan kepada hakim untuk memberikan pemaafan atau pengampunan kepada orang yang melakukan tindak pidana.