Konsep atau filosofi restorative justice muncul pada tahun 1970-an dan 1980-an di Amerika Serikat dan Kanada, bersamaan dengan bentuk praktik yang kemudian disebut sebagai Victim Offender Reconciliation Program (VORP).
Program VORP dalam pandangan Tony Dittenhoffe dalam The Victim/Offender Reconciliation Program: a Message To Correctional Reformers (1983) merupakan pembaruan ide dari metode tradisional dalam menangani pelaku dan korban.
Baca Juga:
Status Tersangka Bos Pallubasa Kasus Kecelakaan Maut Dicabut Polisi
Gagasan VORP adalah membangun kembali kesimbangan dalam hubungan dan mendorong pemulihan.
Dengan demikian maka yang menjadi tujuan utama adalah membangun konsep (program) yang adil dan menekankan bahwa pemulihan ini tidak dilakukan semata-mata didasarkan pada “jumlah dollar yang ditempatkan di tangan para korban”.
Sementara, Gerry Jhonston dan Daniel W Vann Nes (2011) dalam The Meaning of Restorative Justice menyebut bahwa gerakan restorative justice telah mengalami kemajuan dengan memfokuskan upayanya pada perubahan sebagai respons sosial terhadap kejahatan dan pelanggaran.
Baca Juga:
Dugaan Penggelapan Rp6,9 Miliar, Polisi Siap Mediasi Tiko dan Mantan Istri
Energi awalnya difokuskan pada respons sosial revolusioner terhadap perilaku yang diklasifikasikan sebagai kejahatan dan yang dianggap cukup berbahaya untuk diintervensi oleh lembaga peradilan pidana seperti polisi dan lembaga pemasyarakatan.
Kini, restorative justice telah menjadi bagian dari dialog tentang bagaimana melakukan keadilan setelah konflik dan pelanggaran sosial berskala besar.
Howard Zehr dan Ali Gohar (2003) dalam The Little Book of Restorative Justice merumuskan lima prinsip yang harus dilakukan untuk suksesnya pelaksanaan restorative justice, yakni: