Pelaksanaan restorative justice dapat dilakukan baik tahap penyelidikan dan penyidikan yang kemudian setelah adanya kesepakatan dilanjutkan dengan penghentian perkara.
Akan tetapi, harus ada mekanisme yang ditempuh terlebih dahulu yakni gelar perkara khusus sebagai dasar diterima atau tidaknya permohonan restorative justice.
Baca Juga:
Status Tersangka Bos Pallubasa Kasus Kecelakaan Maut Dicabut Polisi
Sedangkan Kejaksaan memiliki landasan dalam pelaksanaan restorative justice yakni Peraturan Jaksa Agung No 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Salah satu konsideran pembentukan ini adalah perkembangan konsep pemidanaan yang tidak berorientasi pada pembalasan merupakan suatu kebutuhan hukum masyarakat dan sebuah mekanisme yang harus dibangun dalam pelaksanaan kewenangan penuntutan dan pembaharuan sistem peradilan pidana.
Dengan adanya restorative justice ini menjadi dasar bagi Jaksa untuk melakukan penutupan perkara karena telah ada penyelesaian perkara di luar pengadilan (afdoening buiten process).
Baca Juga:
Dugaan Penggelapan Rp6,9 Miliar, Polisi Siap Mediasi Tiko dan Mantan Istri
Penghentian penuntutan berdasarkan restorative justice dengan mempertimbangkan: subjek, objek, kategori, dan ancaman tindak pidana; latar belakang terjadinya dilakukannya tindak pidana; tingkat ketercelaan; kerugian atau akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana; cost and benefit penanganan perkara; pemulihan kembali pada keadaan semula; dan adanya perdamaian antara korban dan tersangka.
Kualifikasi pelaku dan kerugian dari tindak pidana yang bisa dilakukan restorative justice adalah:
(a) tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana;