"Para aktivis HAM ini tentu mendapat dukungan dari dunia internasional yang terus mendorong setiap negara untuk menghapus regulasi hukuman mati. Mereka senantiasa berdalih jika hak hidup merupakan hak mutlak yang tidak bisa dicabut oleh siapa pun kecuali oleh Tuhan," kata Burhanuddin.
"Penolakan para aktivis HAM ini tentunya tidak bisa kita terima begitu saja, sepanjang konstitusi, pemberian ruang yuridis dan kejahatan secara nyata sangat merugikan negara. Maka tidak ada alasan bagi kita untuk tidak menerapkan hukuman mati," ujarnya.
Baca Juga:
Jaksa Agung Sebut Lebih 70 Persen Mayoritas Kejahatan Terjadi di Wilayah Laut
Burhanuddin mengatakan sejatinya eksistensi hak asasi juga harus dijalankan dengan kewajiban menghormati hak asasi orang lain dalam kehidupan bermasyarakat.
Hal tersebut diatur dalam UUD 1945 Pasal 28. Menurut Burhanuddin, jika ada pihak yang melanggar hukum, negara dapat mencabut HAM seseorang.
"Kemudian pasal penutup HAM, yaitu dalam Pasal 28 ayat 2 UUD 1945, menegaskan HAM dapat dibatasi dan bersifat tidak mutlak. Negara dapat mencabut HAM setiap orang apabila orang tersebut melanggar UU," ujarnya.
Baca Juga:
Panggil 'Papa', Kejagung Klarifikasi Kedekatan Celine Evangelista dengan ST Burhanuddin
"Dengan demikian, berdasarkan ketentuan di dalam Pasal 28 J ayat 2 UUD 1945 tersebut, penjatuhan sanksi pidana mati untuk koruptor yang selama ini terhalangi oleh persoalan HAM dapat dilegalkan," ungkapnya.
Lebih lanjut Burhanuddin berbicara tentang isu hak hidup tentang bagaimana cara hidup atau matinya seseorang.
Ia berpendapat Tuhan memberikan pilihan dan kebebasan manusia untuk memilih bagaimana cara kehidupan dan matinya.