"Karena satu-satunya pemohon sepanjang LPSK berdiri yang tidak bisa, tidak mau dia menyampaikan apa pun kepada LPSK. Padahal dia yang butuh LPSK bukan LPSK butuh Ibu PC," lanjutnya.
Menurut Edwin, Putri tak pernah responsif saat LPSK mulai meninjau permohonannya. Ditambah ada 2 hal umum pada konteks kekerasan seksual tidak terpenuhi dari sisi korban.
Baca Juga:
Ferdy Sambo Dieksekusi ke Lapas Salemba, Putri Candrawathi di Pondok Bambu
"Ibu PC butuh perlindungan LPSK, tapi tidak antusias, tapi kok tidak responsif. Hanya Ibu PC pemohon yang seperti itu selama 14 tahun LPSK berdiri," kata Edwin.
"Dan juga banyak hal yang sering saya sampaikan pada konteks kekerasan seksual. Umumnya ada 2 hal terpenuhi. Satu, relasi kuasa. Dua, pelaku memastikan tidak ada saksi. Dua-duanya gugur pada kasus Ibu PC," sambungnya.
Edwin lantas menyinggung soal UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang menuntut pihak LPSK untuk segera memberi perlindungan saat pertemuan pada 29 Juli 2022 di Polda Metro Jaya. Edwin menyebut UU TPKS dibuat bukan untuk melindungi korban palsu.
Baca Juga:
MA Vonis Ferdy Sambo Jadi Seumur Hidup, Kamaruddin Duga ada Lobi-lobi Politik
"Ini UU TKPS bukan untuk melindungi orang-orang seperti ini. Untuk melindungi korban sebenarnya, untuk melindungi real korban. Bukan korban fake, korban palsu," katanya.
Edwin menyebut UU TPKS dijadikan instrumen untuk melindungi Putri tanpa ada upaya pembuktian material. Edwin mengungkapkan penggunaan UU TPKS yang muncul dalam rapat di Polda Metro Jaya itu dipimpin langsung oleh AKBP Jerry Raymond Siagian yang saat itu menjabat Wardikrimum. Sebagai informasi, AKBP Jerry telah dikenai sanksi pemberhentian tidak dengan hormat melalui sidang etik.
"UU TPKS dijadikan instrumen legal untuk melindungi Ibu PC tanpa ada upaya membuktikan materialnya apakah posisi sebagai korban itu benar atau tidak," kata Edwin.