MARAKNYA praktik jual-beli rekening bank untuk kepentingan judi online menunjukkan bahwa kejahatan siber tidak lagi berdiri sendiri, melainkan berkelindan dengan eksploitasi identitas warga negara.
Modus yang kian jamak terjadi adalah pemanfaatan Kartu Tanda Penduduk (KTP) milik orang lain untuk mendaftarkan layanan mobile banking, yang selanjutnya akses dan perangkatnya diserahkan kepada jaringan judi online lintas negara.
Baca Juga:
Pakar Hukum Nilai SKCK Batasi HAM: Layak Dihapus
Fenomena ini sering dianggap sepele sekadar “menjual akun” padahal sesungguhnya merupakan kejahatan berlapis yang menyentuh jantung sistem hukum pidana, perlindungan data pribadi, hingga pencucian uang.
Rekening Kuda dalam Ekosistem Kejahatan Transnasional
Dalam kejahatan judi online berskala internasional, sindikat membutuhkan mekanisme penyamaran aliran dana (layering) agar sumber uang sulit dilacak. Di sinilah peran yang disebut sebagai rekening kuda: rekening bank atas nama warga Indonesia, namun dikendalikan sepenuhnya oleh pihak lain, bahkan dari luar negeri.
Baca Juga:
Ahli Nilai MK Perjelas Aturan untuk Polisi Soal Kasus Anak yang Diambil Paksa
Warga yang direkrut—seringkali dari kelompok rentan—diminta menyerahkan KTP, membuka rekening dan mobile banking, lalu menyerahkan ponsel beserta PIN atau kata sandi. Imbalannya relatif kecil, namun risikonya sangat besar: identitas mereka berubah menjadi alat kejahatan.
Praktik ini bukan sekadar pelanggaran ketentuan perbankan. Ia merupakan bentuk pencurian identitas dan fasilitasi kejahatan utama, yakni perjudian online.
Pelanggaran Serius terhadap Perlindungan Data Pribadi
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) memberikan landasan hukum yang jelas untuk menindak modus ini. Pengambilan atau pembelian KTP orang lain untuk tujuan pembuatan rekening judi merupakan perolehan data pribadi secara melawan hukum sebagaimana dilarang dalam Pasal 65 ayat (1) UU PDP. Ancaman pidananya tidak ringan: penjara hingga lima tahun dan/atau denda sampai Rp5 miliar.
Lebih jauh, penggunaan KTP tersebut dalam proses electronic know your customer (e-KYC) perbankan dengan berpura-pura sebagai pemilik sah juga memenuhi unsur penggunaan data pribadi bukan miliknya, sebagaimana diatur Pasal 65 ayat (3) UU PDP.
Artinya, sejak tahap awal pendaftaran rekening, tindak pidana sudah terjadi, terlepas dari apakah rekening tersebut akhirnya digunakan atau belum.
Dimensi Kejahatan Siber dan Manipulasi Data
Karena seluruh proses berlangsung melalui sistem elektronik perbankan, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) juga relevan. Memasukkan data orang lain ke dalam sistem elektronik untuk menghasilkan akun yang tampak sah, tetapi dikuasai pihak lain, dapat dikualifikasikan sebagai manipulasi informasi elektronik.
Pasal 35 UU ITE menegaskan larangan menciptakan atau memanipulasi data elektronik seolah-olah data tersebut otentik. Dalam konteks rekening judi online, keotentikan identitas jelas direkayasa.
Rekening sebagai Instrumen Pencucian Uang
Ketika rekening tersebut digunakan untuk menampung dana hasil judi online, dimensi hukum bertambah serius. Berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, baik pihak yang secara aktif mengelola rekening maupun pihak yang “menyediakan” rekening dapat dijerat pidana.
Dalih “tidak tahu” kerap digunakan oleh pemilik identitas. Namun hukum mengenal prinsip willful blindness atau kebutaan yang disengaja. Menyerahkan rekening dan akses penuh kepada pihak asing dengan imbalan tidak wajar seharusnya cukup untuk menimbulkan dugaan bahwa rekening tersebut digunakan untuk kejahatan.
Aspek Lintas Negara Bukan Penghalang
Perpindahan perangkat otentikasi ke luar negeri sering dianggap sebagai celah hukum. Padahal, tindak pidana utama penggunaan dan manipulasi data pribadi terjadi di Indonesia, saat pendaftaran rekening dilakukan. Berdasarkan asas teritorialitas, aparat penegak hukum Indonesia memiliki kewenangan penuh untuk menindak pelaku di dalam negeri tanpa harus menunggu penangkapan bandar utama di luar negeri.
Penutup
Jual-beli rekening bank untuk judi online bukanlah pelanggaran kecil, melainkan serangan terhadap integritas identitas digital warga negara. Penegakan hukum yang efektif menuntut perubahan perspektif: kasus ini tidak cukup dipandang sebagai perjudian semata, tetapi sebagai kejahatan serius terhadap data pribadi dan sistem keuangan nasional.
Penerapan UU PDP sebagai dakwaan utama, disertai jeratan TPPU, menjadi kunci untuk memutus mata rantai jaringan pengepul rekening dan memberikan efek jera yang nyata.
[Redaktur: Amanda Zubehor]