“Ia memproses permohonan pencairan kredit dengan underlying berupa invoice fiktif,” ujar Nurcahyo dalam konferensi pers di Gedung Bundar Kejagung, Jakarta.
Babay Farid Wazadi, Direktur Bisnis Bank DKI periode 2012–2022, dinilai tidak mempertimbangkan jatuh tempo MTN milik PT Sritex di BRI dan tidak meneliti norma umum pemberian kredit sesuai ketentuan bank.
Baca Juga:
Dugaan Fraud Rp13 Miliar di Balik Tragedi Kematian Kacab Bank BUMN
Pramono Sigit, Direktur Teknologi dan Operasional Bank DKI 2015–2021, juga memutus pemberian kredit berbasis jaminan umum tanpa aset, padahal PT Sritex bukan debitor prima. Ia dianggap mengabaikan prinsip kehati-hatian.
Yuddy Renaldi, Direktur Utama Bank BJB dan Bank Banten (2019–2025), diketahui menyetujui penambahan plafon kredit hingga Rp350 miliar kepada Sritex meski mengetahui ada kredit existing senilai Rp200 miliar yang tidak dicantumkan Sritex dalam laporan keuangannya.
Supriyatno, eks Direktur Utama Bank Jateng (2014–2023), memberikan kredit tanpa membentuk Komite Kebijakan Perkreditan. Ia tetap menyetujui fasilitas kredit walau menyadari kewajiban Sritex lebih besar dari aset yang dimiliki, yang membuat pinjaman itu berisiko tinggi.
Baca Juga:
Kredit Fiktif dan Identitas Palsu: Dugaan Korupsi Rp 17 M BPR Inhu Diselidiki Kejaksaan
Pujiono, Direktur Bisnis Korporasi dan Komersial Bank Jateng pada 2019, ikut menyetujui kredit kepada Sritex meski tidak melakukan verifikasi langsung atas laporan keuangan.
Ia mengabaikan kajian risiko dan menandatangani memorandum analisis kredit tanpa kehati-hatian.
Sementara Benny Riswandi, Senior Executive VP Bank BJB (2019–2024), memberikan kredit modal kerja senilai Rp200 miliar hanya berdasarkan kepercayaan terhadap status Sritex sebagai emiten bursa.