“Jadilah 35 persen (nilai kontrak) sudah habis itu nilai buat hahohaho (suap)-nya,” ujar Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK itu sembari berkelakar.
Di luar itu, mereka juga mengalokasikan pajak atau PPN sebesar 10 persen. Kemudian, mereka juga harus mengalokasikan fee pencairan anggaran sebesar 5 persen.
Baca Juga:
Soroti Sepak Terjang Firli-Lili, ICW Harap Jokowi Cermat Pilih Pansel Capim KPK
Dengan demikian, dari nilai kontrak proyek konstruksi, sebanyak 50 persen di antaranya habis untuk keuntungan perusahaan, suap, dan PPN.
Pahala lantas mencontohkan biaya pembangunan yang sebenarnya hanya membutuhkan Rp 1 miliar membengkak menjadi Rp 2 miliar.
“Kalau negara ini benar di anggaran Rp 2 miliar jembatannya jadi dua, bukan jadi satu,” tutur Pahala.
Baca Juga:
Terungkap, Kementan Gelontorkan Rp 5 Miliar ke Auditor BPK demi Status WTP
“Tapi sekarang jadi satu, makanya lelet kita ngebangunnya karena untuk bikin apa saja dua kali lipat. Kecuali kue rapat karena harganya bisa dicek,” lanjutnya.
Meski demikian, kata Pahala, saat ini terdapat kabar baik dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Sebab, kementerian yang dipimpin Basuki Hadimuljono sedang membangun database harga konstruksi. Mereka tengah mengembangkan sistem bernama Si Pasti.