WahanaNews.co | Rancangan Undang-undang Larangan
Minuman Beralkohol (RUU Minol) belum mencapai kesepakatan di Badan
Legislasi (Baleg) DPR.
Dalam
rapat harmonisasi yang digelar Selasa (17/11/2020), fraksi-fraksi belum
bersepakat membawa RUU Larangan Minol ke rapat paripurna untuk disahkan sebagai
RUU usul inisatif DPR.
Baca Juga:
Mengejutkan, Sudiami Resmi Jadi Anggota Parlemen Bombana dengan 393 Suara
Berbagai
pandangan fraksi yang disampaikan dalam rapat kemarin jadi masukan untuk
pengharmonisasian dan pembulatan RUU Larangan Minuman Beralkohol.
"Kalau
soal keputusan nanti pada saatnya," kata Wakil Ketua Baleg, Achmad
Baidowi.
Baca Juga:
Anggota DPR Habiburokhman Temui Massa Aksi, Dilempari Botol
Dinilai Tak
Mendesak
Fraksi
yang menolak RUU Larangan Minol itu, di antaranya, PDI Perjuangan dan Golkar.
Anggota
Fraksi PDI-P, Hendrawan Supratikno, menilai, RUU Larangan Minol tak mendesak
dan tak memiliki signifikansi.
"Kalau
relevansi, it's okay. Relevan membicarakan RUU ini.
Tapi, kalau kita timbang dari dua parameter yang lain, yaitu
urgensi dan signifikansi, sebagai Baleg yang mempunyai tugas membuat begitu
banyak UU, melihat konteks dan momentumnya, saya kok melihat belum masuk saat ini," kata Hendrawan.
Hendrawan
pun meminta para pengusul mempelajari isu pembahasan pada periode lalu yang
membuat RUU Larangan Minuman Beralkohol terhambat dan tak selesai.
Menurutnya,
persoalan yang saat ini diperdebatkan masih sama seperti pembahasan pada
periode lalu, misalnya tentang nomenklatur "larangan" pada judul RUU.
Selain
itu, pengaturan ketentuan pidana juga harus dipertimbangkan dengan jelas dan
objektif.
"Saya
berharap tim pengusul menarik wisdom
dari pengalaman masa lalu untuk diinkorporasi dalam apa yang akan kita lakukan
di masa depan," ujarnya.
Hal
senada disampaikan anggota Fraksi Golkar, John Kenedy Azis. John memandang, RUU
Larangan Minuman Beralkohol bertentangan dengan semangat Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang baru saja disahkan.
Menurut
dia, RUU Larangan Minuman Beralkohol berpotensi mematikan UMKM yang memproduksi
minuman beralkohol.
"Bahwa
ternyata memang industri minuman ini banyak dikuasai oleh industri dari UMKM.
Oleh karena itu, RUU ini tidak sejalan dengan UU Cipta Kerja yang baru saja
ditandatangani oleh presiden," kata John.
"Karena
itu, kami Fraksi Golkar belum bersepakat untuk melanjutkan RUU ini sesuai
ketentuan selanjutnya," imbuh dia.
Alasan
Pengusul
Salah
satu pengusul, anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Nasir
Djamil, mengatakan, kehadiran undang-undang yang mengatur tentang
minuman beralkohol penting untuk menjamin keamanan dan ketertiban masyarakat.
Sebab,
minuman beralkohol dianggap berdampak negatif terhadap kesehatan jasmani dan
rohani hingga menimbulkan gangguan di muka umum.
"Karena
pada hakikatnya dalam pandangan kami, minuman beralkohol itu dapat membahayakan
kesehatan jasmani dan rohani, juga dapat mendorong terjadinya gangguan keamanan
dan ketertiban di tengah masyarakat," kata Nasir.
Pengusul
lainnya, anggota Fraksi Gerindra, Muhammad Syafi'I, mengatakan, RUU Larangan Minuman Beralkohol justru
memberikan kejelasan hukum tentang produksi, distribusi, dan konsumsi minuman
beralkohol.
Syafi'i
memaparkan, RUU tersebut memberikan pengecualian produksi dan konsumsi untuk
kepentingan wisata, adat, ritual keagamaan, wisatawan, farmasi, dan pada tempat
yang diizinkan pemerintah melalui peraturan pemerintah (PP).
"Terjadi
kejelasan siapa yang boleh memproduksi, dengan kadar alkohol berapa itu
produksi yang boleh dikonsumsi, dan siapa yang boleh membeli. Saya kira ini
cukup jelas tujuan dari dibuatnya peraturan perundang-undangan itu," ujar
dia.
Kendati
begitu, Institute for Criminal Justice
Reform (ICJR) berpendapat, pengecualian yang tertuang dalam draf RUU Larangan Minuman
Beralkohol sama sekali tak menghadirkan kejelasan hukum.
ICJR
malah khawatir RUU ini akan melahirkan kesewenang-wenangan hukum.
Menurut
ICJR, dalam keterangan pers, Jumat (13/11/2020), RUU tersebut justru menggunakan
pendekatan prohibitionist atau larangan buta karena mengatur bahwa tiap orang
dilarang memproduksi, memasukkan, menyimpan, mengedarkan, dan/atau menjual
minuman beralkohol di wilayah RI. Mereka yang melanggar pun dikenai sanksi pidana.
"Walaupun
memuat pengecualian larangan, namun pengaturan pengecualian tersebut sama
sekali tidak jelas, bahkan akan diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah. Ketidakjelasan pengecualian yang ketat ini dapat memberi dampak
terjadi kesewenangan," kata ICJR.
Wakil
Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, mengatakan, berbagai respons publik terhadap RUU Larangan Minuman
Beralkohol akan menjadi atensi parlemen.
Dasco
mengatakan, Baleg tentu akan mempertimbangkan kelanjutan pembahasan RUU
Larangan Minol yang telah dipaparkan para pengusul dengan masukan dan saran
yang ada.
"Ini
adalah suatu dinamika dalam pembahasan RUU di DPR, di mana penolakan-penolakan
maupun masukan-masukan akan menjadi perhatian dari Baleg untuk lebih mencermati
pembahasan dari usulan dari pengusul tersebut," kata Dasco di Gedung DPR,
Senayan, Jakarta, Jumat (13/11/2020). [dhn]