Ini karena kedekatan ideologi antara GMNI dan ayah Megawati itu. Organisasi itu menulis bahwa “asas GMNI adalah marhaenisme ajaran Bung Karno.”
Megawati bergabung ke Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada 1986. PDI adalah hasil merger dari PNI, Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), dan Partai Katolik.
Baca Juga:
Megawati Soekarnoputri Ziarah Ke Makam Korban Pengepungan Leningrad di Rusia
Bergabung ke PDI memungkinkan Megawati untuk terpilih menjadi anggota DPR pada 1987 mewakili Jawa Tengah. Ini menjadi jabatan publik pertama yang diperoleh oleh Megawati. Dia menjabat sebagai anggota DPR hingga 1997.
“Suaranya yang lembut, sorot matanya yang tajam, dan nama Soekarno yang menempel padanya berhasil menggugah massa dan kembali mengantarkannya maju di Pemilu 1992,” tulis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), mengutip buku Presiden RI 1945-2014 karya Julius Pour.
Di tengah karier politiknya, Megawati terpilih menjadi ketua umum PDI dalam kongres luar biasa partai itu pada 1993. Kemenangan Megawati membelah PDI ke dalam dua kubu, yaitu yang mendukung dia dan yang tidak.
Baca Juga:
Rumor PKB Beralih Dukung Anies di Pilgub Jakarta, Ini Respons AHY
Perpecahan PDI berkaitan dengan penolakan pemerintahan Presiden Soeharto untuk mengakui kemenangan Megawati. Pemerintah mendukung ketua umum PDI petahana Soerjadi, yang kembali terpilih dalam kongres pada 1996. Namun kongres ini tidak mengundang Megawati.
Sebagai respons, Megawati mendirikan partai baru bersama para pendukungnya dari PDI pada 1999, yaitu PDIP. Dia telah memimpin partai banteng ini selama 23 tahun sejak berdiri.
Bersama PDIP, karier politik Megawati memasuki babak baru pada 1999. Megawati melakukan pencalonan presiden pertamanya sebagai nominasi PDIP. Dia kalah dengan 44,72% pangsa suara terhadap Abdurrahman Wahid (Gus Dur).