“Menyatakan frasa ‘imbalan yang wajar’ dalam norma Pasal 87 ayat (1) UU 28/2014 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘imbalan yang wajar, sesuai dengan mekanisme dan tarif berdasarkan peraturan perundang-undangan’,” ucap Suhartoyo.
Mahkamah menilai, ketidakjelasan frasa tersebut membuka ruang penafsiran yang beragam sehingga berpotensi menimbulkan sengketa.
Baca Juga:
UU TNI Kembali Digugat ke MK, Batasi Prajurit TNI di Jabatan Sipil
Oleh karena itu, penentuan royalti harus mengacu pada tarif yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan oleh lembaga yang berwenang.
Enny menegaskan bahwa penetapan tarif royalti harus melibatkan partisipasi para pemangku kepentingan, serta tidak mengabaikan kepentingan masyarakat untuk dapat mengakses dan menikmati karya cipta secara terjangkau.
Untuk penghimpunan royalti, LMK diwajibkan berkoordinasi dan menetapkan besaran royalti sesuai prinsip dan kelaziman hak cipta.
Baca Juga:
Kritik Suharyanto soal Bencana Sumatera, Saldi Isra Desak Evaluasi Penempatan TNI di Kementerian
“Dalam hal ini, pembentuk undang-undang perlu segera mengatur perihal royalti atau imbalan yang terukur dan proporsional serta tidak memberatkan pengguna ciptaan dan masyarakat pada umumnya,” ucap Enny.
Mahkamah juga mencatat bahwa tarif royalti selama ini telah diatur melalui Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016.
Adapun pengaturan “imbalan yang wajar” merupakan bagian dari mekanisme lisensi kolektif atau blanket license yang dikelola LMK.