WahanaNews.co |
Perkara perselisihan hasil
Pemungutan Suara Ulang (PSU) untuk Pemilihan Bupati (Pilbup) Labuhanbatu, yang
diajukan oleh Pasangan Calon Nomor Urut 3, Andi Suhaimi Dalimunthe dan Faizal
Amri Siregar, diputus Mahkamah Konstitusi.
Dalam Amar
Putusan Nomor 141/PHP.BUP-XIX/2021, yang dibacakan pada Kamis (3/6/2021) kemarin,
MK memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melaksanakan PSU jilid II dalam
Pilbup Labuhanbatu ini.
Baca Juga:
Mahasiswa Uji Formil UU TNI ke MK, Minta Presiden dan DPR Dihukum Bayar Ganti Rugi
Mahkamah
menyatakan batal dan tidak sah keputusan KPU Kabupaten Labuhanbatu Nomor
64/PL.02.6-Kpt/1210/KPU-Kab/IV/2021 tentang Penetapan Rekapitulasi Hasil
Penghitungan Suara Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 58/PHP.BUP-XIX/2021
bertanggal 27 April 2021, sepanjang mengenai perolehan suara masing-masing Pasangan
Calon di 2 (dua) TPS, yaitu TPS 007 dan TPS 009 Kelurahan Bakaran Batu,
Kecamatan Rantau Selatan.
"Memerintahkan
kepada Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Labuhanbatu untuk melaksanakan
pemungutan suara ulang Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Labuhanbatu
Tahun 2020 di dua TPS yaitu TPS 007 dan TPS 009 Kelurahan Bakaran Batu,
Kecamatan Rantau Selatan," ujar Ketua MK, Anwar Usman, membacakan amar
putusan, di Gedung MK, Jakarta Pusat.
"(Dilaksanakan)
dalam waktu paling lama 14 hari kerja sejak diucapkannya Putusan Mahkamah ini
dan melaporkannya kepada Mahkamah dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak
selesainya pemungutan suara ulang," sambungnya.
Baca Juga:
UU TNI Dinilai Cacat, Mahasiswa Uji Formil ke MK Minta DPR Dihukum Bayar Rp50 Miliar
Dalam perkara
ini, Pemohon mendalilkan bahwa ada delapan pemilih di TPS 007 dan TPS 009
Kelurahan Bakaran Batu, Kecamatan Rantau Selatan, yang memilih menggunakan KK.
Terkait hal
tersebut, dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah mendasarkan pada Pasal 7 ayat
(2) dan ayat (3) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2019 tentang
Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilihan Umum (PKPU 3/2019) yang
membenarkan penggunaan KK sebagai identitas lain pengganti KTP-el.
Akan tetapi,
hal tersebut digunakan dalam konteks penyelenggaraan Pemilihan Umum.
Mahkamah
berpendapat, hal ini justru menampakkan adanya inkonsistensi antar-regulasi
yang dibuat oleh KPU sendiri, yaitu PKPU 3/2019 dan PKPU 18/2020, yang jika
merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi maka regulasi yang dibenarkan
berkenaan dengan identitas diri adalah PKPU 18/2020.
"Dengan
demikian, berdasarkan fakta hukum dan pertimbangan hukum di atas, penggunaan KK
memang tidak dibenarkan, karena KK yang memuat data tentang susunan, hubungan,
dan jumlah anggota keluarga bukan merupakan alat bukti identitas diri yang
dilengkapi dengan foto dan informasi lengkap yang dapat menunjukkan identitas
seseorang secara akurat," ujar Hakim Konstitusi Saldi Isra saat membacakan
pertimbangan mahkamah.
Selanjutnya,
Mahkamah tidak membenarkan fakta hukum penggunaan KK sebagai identitas pemilih
bagi yang tidak membawa KTP-el serta tidak dapat menunjukkan Suket, yang
merujuk pada Surat Edaran Bawaslu RI Nomor S-0879K.Bawaslu/PM.00.00/12/2020
tentang Pelaksanaan Pengawasan Tahapan Pemungutan dan Penghitungan Suara Pada
Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota
dan Wakil Walikota Serentak Lanjutan Tahun 2020, bertanggal 8 Desember 2020.
"Karena,
jika KK dijadikan sebagai salah satu dasar dalam membuktikan identitas diri
pemilih, sangat besar kemungkinan terjadi penyalahgunaan suara pemilih, karena
KK tersebut dapat digunakan oleh orang lain yang tidak berhak, karena tidak ada
foto dalam KK yang dapat diverifikasi kebenarannya bagi orang yang menggunakan
KK tersebut," papar Saldi.
Mahkamah juga
berpendapat, penggunaan KK masih membuka peluang dan potensi bagi pemilih yang
tidak berhak untuk menyalahgunakan KK tersebut.
Oleh karena
itu, Mahkamah menilai, proses pemungutan suara di TPS tersebut dilaksanakan
tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sehingga,
validitas perolehan suara pun tidak dapat dijamin kemurniannya.
Mahkamah juga
menilai, hal demikian telah mencederai asas Pemilihan Umum yang jujur dan adil,
sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.
Asas tersebut
tidak hanya berlaku terhadap pemilih saja, melainkan juga berlaku terhadap
penyelenggara pemilihan, guna tercipta pelaksanaan pesta demokrasi yang bersih.
[qnt]