Nantinya, MKMK akan menyatakan ada atau tidaknya benturan kepentingan para hakim dalam putusan tersebut. Jika ada hakim konstitusi yang terbukti melanggar kode etik, MKMK dapat menerbitkan rekomendasi pemecatan.
“MKMK wewenangnya terbatas pada etik dari orang-orang yang diduga melakukan pelanggaran etik,” terang Bivitri.
Baca Juga:
MK Putuskan Libur 1 untuk 6 Hari dalam UU CiptaKerja Bertentangan dengan UUD
Oleh karena putusan MK bersifat final and binding atau final dan mengikat, kata Bivitri, Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 hanya mungkin diubah melalui putusan MK juga.
Saat ini, sudah ada sejumlah uji materi terkait syarat usia capres-cawapres yang bergulir di MK. Sama seperti perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, uji materi ini juga menyoal Pasal 169 huruf q Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Menurut Bivitri, putusan MKMK kelak dapat dijadikan landasan dalam proses uji materi baru ini. Seandainya MKMK menyatakan ada hakim yang terbukti melangga kode etik, bukan tidak mungkin uji materi baru terhadap Pasal 169 huruf q UU Pemilu membatalkan putusan MK sebelumnya.
Baca Juga:
MK Kabulkan 70% Tuntutan Buruh, Serikat Pekerja Rayakan Kemenangan Bersejarah dalam Revisi UU Cipta Kerja
Oleh karenanya, meski tak dapat mengubah putusan MK, MKMK tetap dapat menjadi salah satu jalan keluar atas kusutnya perkara ini.
“Makanya, jalan memutarnya, menurut saya tetap harus diberikan jalan keluar ini karena secara prinsip secara logika hukum yang harus ada dampaknya terhadap putusan nomor 90. Jadi terhadap putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 itu yang bisa dilakukan adalah MK memeriksa lagi berdasarkan permohonan yang sudah ada,” kata Bivitri.
Feri bilang, lembaga peradilan mana pun bersifat merdeka dan tidak bisa diintervensi lembaga lain. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945.