"Sejak Undang-Undang Advokat berlaku, semua kewenangan yang tadinya ada di negara kini menjadi kewenangan organisasi profesi, dalam hal ini PERADI," jelasnya.
Ia menegaskan bahwa sistem single bar diterapkan dengan tujuan menjaga standar kualitas advokat, karena profesi ini harus diisi oleh individu yang profesional, berintegritas, dan kompeten.
Baca Juga:
10 Aksi Brutal Askel Mabel yang Mengguncang Papua
Dalam pembekalan ini, Otto juga menjelaskan bahwa PERADI adalah satu-satunya organisasi advokat di Indonesia yang diberikan delapan kewenangan oleh negara berdasarkan UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
"Kami menyelenggarakan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) dan memiliki wewenang untuk mengangkat advokat. Tidak ada organisasi lain yang memiliki kewenangan tersebut. Jika ada yang melantik advokat di luar PERADI, itu tidak dapat dibenarkan," tuturnya.
Otto juga menekankan pentingnya kode etik bagi para advokat. Ia mengingatkan bahwa sebaik apa pun seorang advokat dalam keahlian hukum, tanpa kode etik, ia bisa gagal menjalankan tugasnya dengan baik.
Baca Juga:
Top Working, Solusi Optimalkan Produksi Durian
"Kami selalu menitikberatkan pada kode etik dalam setiap pendidikan dan pembekalan. Seorang advokat harus menjunjung tinggi kode etik profesi, karena banyak permasalahan di dunia hukum saat ini yang berkaitan dengan pelanggaran kode etik," tegasnya.
Belakangan, kasus di Pengadilan Negeri Jakarta Utara menjadi sorotan publik setelah ada advokat yang dinilai melakukan tindakan tidak pantas di persidangan.
Akibatnya, Pengadilan Tinggi Ambon dan Pengadilan Tinggi Banten membekukan Berita Acara Sumpah (BAS) dua advokat yang terlibat dalam kasus tersebut.