WahanaNews.co, Jakarta - Ahli Ilmu Ekonomi Politik dari University of Melbourne, Prof Vedi Hadiz, menilai upaya Presiden Joko Widodo dalam mendorong partisipasi putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, dalam Pilpres 2024 sebagai manuver politik yang cermat.
Meskipun masyarakat secara luas memprotes praktik memanjangkan dinasti politik, suara untuk pasangan calon presiden dan calon wakil presiden Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming tidak mengalami penurunan signifikan.
Baca Juga:
PTUN Menangkan Anwar Usman, Waka Komisi III DPR RI: Putusan MKMK Cacat Hukum
"Menurut saya itu adalah manuver politik yang cukup jitu. Ternyata kalkulasi politik dia (Jokowi) tidak keliru, walaupun ada bagian dari masyarakat yang memprotes dan menurut saya dengan sangat beralasan memprotes karena UU harus diubah untuk memungkinkan ini," kata Vedi Hadiz dalam program ROSI Kompas TV, dikutip Jumat (17/11/2023).
"Kenyataannya suara dari pasangan tersebut ternyata tidak mengalami kerugian sama sekali bahkan," ucap dia.
Di sisi lain, ia tidak memungkiri, praktik nepotisme maupun penyalahgunaan kekuasaan membuat publik tidak merasa nyaman.
Baca Juga:
MKMK: PTUN Jakarta Tidak Berwenang Adili Putusan Pemberhentian Anwar Usman dari MK
Namun, menurut Vedi, praktik pelanggaran etik, politik dinasti, hingga nepotisme hanya bersirkulasi di kalangan para elite.
Masyarakat pun, kata dia, seolah sudah terbiasa dengan praktik tersebut di tingkat lokal. Misalnya, ketika kepala desa dijabat secara turun-temurun oleh satu keluarga. Dengan begitu, praktik serupa di tingkat nasional tidak lantas membuat suara menurun.
"Jadi buat masyarakat bawah, pelanggaran seperti ini, nepotisme, penyalahgunaan kekuasaan, pun di tingkat sehari-hari, di tingkat lokal, di tingkat pengalaman hidup mereka yang nyata, itu selalu ditemui. Itu adalah bagian dari kenyataan hidup mereka sehari-hari," ucap dia .
Gibran Rakabuming Raka mencalonkan diri sebagai wakil presiden setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, pada Senin (16/10/2023).
Mahkamah membolehkan seseorang yang belum berusia 40 tahun mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden selama berpengalaman menjadi kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilihan umum.
Buntut dari prahara itu, Anwar Usman diberhentikan dari jabatan sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) dalam sidang pembacaan putusan etik yang digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (7/11/2023).
MKMK menyatakan, Anwar terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama prinsip ketakberpihakan, prinsip integritas, prinsip kecakapan dan kesetaraan, prinsip independensi, dan prinsip kepantasan dan kesopanan.
[Redaktur: Amanda Zubehor]