Pieter mempertanyakan apakah gerakan tersebut semata-mata didasari kegelisahan moral atau justru merupakan bagian dari skenario politik tertentu.
"Ketika tokoh-tokoh yang pernah menduduki posisi strategis dalam pertahanan negara ikut mendorong narasi penggantian wapres yang telah dipilih melalui mekanisme konstitusional, publik akan bertanya, apakah ini murni kegelisahan moral, atau ada arus bawah tanah politik yang sedang bergerak?" katanya.
Baca Juga:
Pilkada Jakarta 2024, Pengamat: PDI-P dan Anies Baswedan Hadapi Risiko Politik Bunuh Diri
Ia juga menyoroti bahwa institusi TNI sendiri telah secara tegas menetapkan garis netralitas dalam politik praktis, sehingga keterlibatan para purnawirawan bisa mengaburkan persepsi publik.
"Publik bisa menilai ini bukan hanya soal hukum, tapi juga manuver politik. Dan celakanya, manuver semacam ini hanya menambah runyam suhu demokrasi yang sedang rapuh," tambahnya.
Pentingnya Kedewasaan Demokrasi
Baca Juga:
Momentum Pilkada, Pengamat Politik Harap KPU Aktif Sosialisasi Nyata
Pieter mengingatkan bahwa gugatan terhadap Gibran bukan hanya menyasar pribadi, tetapi juga berpotensi menggoyahkan keabsahan pemilu secara keseluruhan.
"Meskipun kita bisa memperdebatkan kualitas moral atau etik suatu keputusan, namun dalam tatanan negara hukum, putusan MK adalah final dan mengikat," ujarnya menegaskan.
Menurut Pieter, dalam demokrasi, kedewasaan dalam menerima hasil yang mungkin terasa pahit adalah keniscayaan.