Menurutnya, Anwar dengan niat buruk mengesampingkan kewajiban hukum untuk mengundurkan diri dari majelis hakim yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.
Hal itu tak sesuai Kode Etik dan Perilaku Hakim, UU Mahkamah Konstitusi, UU Kekuasaan Kehakiman, dan Bangalore Principles of the Independence of the Judiciary yang secara universal berlaku bagi hakim serta sumpah jabatan.
Baca Juga:
MK Putuskan Libur 1 untuk 6 Hari dalam UU CiptaKerja Bertentangan dengan UUD
"Sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi, hakim terlapor telah melanggar sumpah jabatannya untuk memimpin dengan baik dan adil," katanya.
Akibat perbuatan hakim terlapor, kata Violla, konstruksi amar putusan perkara a quo serampangan, Mahkamah Konstitusi dicap Mahkamah Keluarga yang berakibat hilangnya kepercayaan publik pada Mahkamah Konstitusi.
"Hal tersebut merusak muruah, kewibawaan, martabat, dan keluhuran Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga penjaga konstitusi, demokrasi, dan hak asasi manusia," ujarnya.
Baca Juga:
MK Kabulkan 70% Tuntutan Buruh, Serikat Pekerja Rayakan Kemenangan Bersejarah dalam Revisi UU Cipta Kerja
Violla menilai Anwar Usman bukan hanya telah melanggar etik dan perilaku hakim serta sumpah jabatan, tetapi juga telah melecehkan konstitusi serta demokrasi dengan tidak mengelola konflik kepentingan yang dimilikinya dan justru secara vulgar ia pertontonkan.
"Para Pelapor berharap MKMK menyambut panggilan sejarah untuk memulihkan keluhuran MK, dengan memberhentikan secara tidak terhormat Hakim Konstitusi Anwar Usman sebagai Ketua MK dan hakim konstitusi," ujar dia.
Pihaknya mendesak MKMK untuk berani mengambil keputusan progresif untuk menyelamatkan masa depan demokrasi dan konstitusi Indonesia dengan cara menyatakan Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023, tanggal 16 Oktober 2023 batal demi hukum karena disusun dengan proses yang cacat formil akibat kentalnya konflik kepentingan.