Hal ini terjadi akibat berbagai persinggungan internal umat Islam, baik secara politik, ekonomi, maupun paham keagamaan.
Karenanya, meski tumpukan legitimasi agama terus digaungkan untuk pembenaran radikalisme, muatan politik, ekonomi, dan sosial budaya tetap terasa kuat ikut menyesaki pendulum paham kekerasan ini.
Baca Juga:
Satgas Operasi Madago Raya dan Kemenag Sigi Perkuat Sinergi Cegah Radikalisme
Di sisi lain, gelombang politisasi terhadap ayat dan hadits telah dicermati oleh para sarjana sebagai bagian dari fenomena global yang baru.
Mereka mendeskripsikan dan menganalisis gelombang baru itu sebagai fundamentalisme agama yang merupakan tandingan dari modernisme dan sekularisme.
Mohammed Arkoun melihat bahwa radikalisme Islam sebagai dua tarikan berseberangan, yakni masalah ideologisasi dan politis, dan Islam selalu akan berada di tengahnya.
Baca Juga:
Kesbangpol JB Gelar Dialog: Ingin Masyarakat Waspadai Ancaman Terorisme dan Radikalisme
Sayangnya, radikalisme secara serampangan dipahami sebagai bagian substansi ajaran Islam.
Sementara fenomena politik dan ideologi terabaikan.
Sedangkan memahami Islam merupakan aktivitas kesadaran yang meliputi konteks sejarah, sosial, dan politik.