Dalam proses di Komisi III DPR, Komjen Pol Setyo Budiyanto terpilih menjadi Ketua KPK periode 2024-2029. Jenderal bintang tiga polisi yang pernah jadi Direktur Penyidikan KPK itu ditemani capim petahana Johanis Tanak yang berlatar belakang jaksa, Agus Joko Pramono (eks Wakil Ketua BPK), Fitroh Rohcahyanto (jaksa yang pernah jadi Direktur Penuntutan KPK), dan Ibnu Basuki Widodo (hakim di Pengadilan Tinggi Manado).
Sementara itu, untuk komposisi lima anggota Dewas KPK, Komisi III DPR memilih Chisca Mirawati (Founder & Managing Partner CMKP Law), Benny Mamoto (pensiunan jenderal Polri, mantan Ketua Harian Kompolnas), Wisnu Baroto (jaksa), Sumpeno (hakim pada Pengadilan Tinggi Jakarta), dan Gusrizal (Ketua Pengadilan Tinggi Samarinda).
Baca Juga:
Setyo Budiyanto Terpilih sebagai Ketua KPK: OTT Tetap Senjata Utama
Abdul menjelaskan, KPK bertugas mengawas di ranah eksekutif secara sistemik, namun personel yang kini terpilih untuk memimpin lembaga tersebut justru juga berasal dari kekuasaan eksekutif. Setelah revisi UU KPK pada 2019 lalu, lembaga antirasuah itu pun sudah masuk ke rumpun eksekutif di mana seluruh pegawainya berstatus ASN.
"Tuntas sudah KPK menjadi lembaga bagian dari kekuasaan, karena secara sistemik KPK berada di ranah eksekutif yang diisi oleh personil personil yang justru juga berasal dari kekuasaan eksekutif," tuturnya.
Selain itu, kata Abdul, hasil pemilihan ini berpotensi membangun prasangka bahwa tindakan tersebut sebagai upaya pelemahan lembaga antirasuah.
Baca Juga:
Lima Pimpinan Baru KPK Ditetapkan, Setyo Budiyanto Jadi Ketua
"Dengan hasil pilihan ini Komisi III telah 'sengaja' menjadi limbung akan fakta sejarah ini, demikian juga fakta ini bisa membangun prasangka bahwa tindakan ini merupakan bagian dari upaya pelemahan KPK," ujar Abdul.
"Maka tamatlah riwayat independensi KPK pada zaman pemerintahan baru ini," imbuhnya.
Masyarakat kritis