WahanaNews.co, Jakarta - Komisi Yudisial (KY) bakal melakukan pemeriksaan terhadap majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya yang menjatuhkan vonis bebas terhadap Gregorius Ronald Tannur (31) selaku terdakwa kasus dugaan penganiayaan yang menyebabkan kematian seseorang.
Keputusan tersebut diambil KY lantaran putusan pengadilan tingkat pertama tersebut menimbulkan polemik dan mencederai rasa keadilan.
Baca Juga:
MA Sebut Tak Ada Pelanggaran Etik Hakim Majelis Kasasi Ronald Tannur
"Komisi Yudisial memahami apabila akhirnya timbul gejolak karena dinilai mencederai keadilan. Namun, karena tidak ada laporan ke KY sedangkan putusan ini menimbulkan perhatian publik, maka KY menggunakan hak inisiatifnya untuk melakukan pemeriksaan pada kasus tersebut," ujar Juru Bicara KY Mukti Fajar Nur Dewata melalui keterangan tertulis, Kamis (25/7).
Mukti menyadari KY tidak bisa menilai benar atau salah produk putusan pengadilan, namun sangat memungkinkan untuk menurunkan tim investigasi. Hal itu guna mendalami apakah ada pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim atau tidak.
"KY juga mempersilakan kepada publik untuk melaporkan dugaan pelanggaran kode etik hakim jika ada bukti-bukti pendukung agar kasus tersebut dapat ditindaklanjuti sesuai prosedur berlaku," ucap Mukti.
Baca Juga:
Penahanan Ibu Ronald Tannur Dipindahkan Kejagung ke Jakarta
Majelis hakim PN Surabaya menyatakan kematian Dini Sera Afriyanti (29) disebabkan oleh penyakit lain akibat meminum minuman beralkohol, bukan karena luka dalam atas dugaan penganiayaan yang dilakukan oleh Ronald Tannur. Atas alasan itu, hakim menjatuhkan vonis bebas terhadap Ronald Tannur.
"Kematian Dini bukan karena luka dalam pada hatinya, tetapi karena ada penyakit lain disebabkan minum minuman beralkohol saat karaoke sehingga mengakibatkan meninggalnya Dini," ujar ketua majelis hakim Erintuah Damanik dalam sidang putusan, Rabu (24/7).
Ronald Tannur dibebaskan dari dakwaan jaksa mengenai pembunuhan. Menurut hakim, Ronald Tannur masih berupaya melakukan pertolongan terhadap korban di saat kritis. Hal itu dibuktikan dengan sikap terdakwa yang sempat membawa korban ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan.
Vonis tersebut menimbulkan tanda tanya dan kontroversi di tengah masyarakat. Padahal sebelumnya, jaksa menuntut hukuman 12 tahun penjara dan membayar restitusi pada keluarga korban atau ahli waris senilai Rp263,6 juta subsider 6 bulan kurungan.
[Redaktur: Alpredo Gultom]