WahanaNews.co | Beredar pemberitaan terkait RUU Perampasan Aset yang rancangannya telah disampaikan kepada Presiden RI pada Kamis (4/5/23) menuai perhatian dari banyak kalangan. Kali ini datang dari Tim Advokasi Peduli Hukum Indonesia yang melihat ketentuan dalam RUU Perampasan Aset perlu dicermati secara seksama dan tidak asal disetujui.
Menurut Biren Aruan, perwakilan Tim Advokasi Peduli Hukum Indonesia, definisi 'Perampasan' ini masih menimbulkan pertanyaan bagi kalangan Advokat.
Baca Juga:
Kasus Penembakan Pengacara di Bone, TPF Peradi Ungkap Pelaku Profesional
"Jadi narasi Perampasan Aset ini apakah sudah sesuai? kan kalau dikonotasikan dirampas, itu kan jelas melakukan pengambilan secara paksa," ujar Biren melalui siaran pers yang diterima WahanaNews.co pada Rabu, (10/5/23).
"Jangan sampai, kata Perampas ini yang berkonotasi negatif kan dari kata Rampas ini muncul kata rampok, sehingga dapat menimbulkan tafsir publik bahwa Pemerintah Merampas, tidak ada bedanya dong dengan koruptor yang sama-sama tukang rampas. Mungkin kata Penyitaan masih lebih positif," sambung Biren.
Menurutnya, antara penyitaan dan perampasan mempunyai definisi berbeda.
Baca Juga:
3 Potret Kisruh yang Mengguncang Organisasi Hukum di Tahun 2024
Penyitaan dilakukan pada tahap penyidikan, sedangkan barang rampasan negara merupakan perampasan terhadap benda sitaan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dan atau penetapan Pengadilan Negeri (khusus untuk perkara korupsi) serta dinyatakan dirampas untuk negara.
Bahwa Perampasan Aset juga tertuang didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sebagaimana diatur dalam ketentuan jenis-jenis pidana dalam Pasal 10 KUHP, terdiri atas:
Pidana Pokok : meliputi pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana tutupan, dan