Sementara itu, Pakar Bidang Studi Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Indonesia Yoni Agus Setyono berpendapat kasus tersebut seharusnya diselesaikan melalui jalur perdata, bukan pidana korupsi.
Yoni menjelaskan jika tujuannya untuk mengembalikan kerugian negara atas dampak lingkungan yang ditimbulkan dari tata niaga timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah, jalur perdata lebih memungkinkan. Terlebih, jika nilai kerugian negara masih belum jelas dan masih diperdebatkan.
Baca Juga:
Pemkab Nias Barat Libatkan Ahli Cek Keaslian Foto-Video Khenoki Waruwu dan Kadis Pariwisata
"Kalau kerugiannya belum jelas, mengapa dibawa ke pidana korupsi? Ini keliru karena kerugian negara dalam kasus ini masih diperdebatkan, sehingga penyelesaian yang tepat melalui gugatan perdata, bukan tipikor," ujar Yoni.
Dia mengatakan dengan jalur perdata, benang kusut kasus timah dapat diurai hingga menemukan pihak yang seharusnya bertanggung jawab atas kerugian lingkungan yang timbul atas aktivitas pertambangan itu.
Dirinya membeberkan, gugatan perdata bisa melibatkan semua pihak, baik pemilik lama (perusahaan) maupun baru. Dengan demikian, menurutnya, cara tersebut lebih adil dan sesuai dengan aturan yang berlaku.
Baca Juga:
Kasus Perundungan Mahasiswi PPDS Undip, Penyidik Periksa Ahli Autopsi Psikologis
Ia pun menyarankan agar upaya hukum lanjutan bisa dilakukan melalui Mahkamah Agung (MA) karena MA masih bisa membatalkan putusan banding jika melihat secara utuh dari memori kasasi.
"Jika pelanggarannya lebih kepada lingkungan hidup, maka harus dilihat berdasarkan UU Lingkungan Hidup, bukan UU Tipikor," ucap dia.
Dia mengungkapkan UU Lingkungan Hidup Tahun 2009 memberikan kewenangan kepada Pemerintah untuk mengajukan gugatan perdata terhadap subjek hukum lain, termasuk warga negara dan badan hukum.