Namun juga tak bisa
dilepaskan dari sebutan organisasi preman, karena praktik-praktiknya yang masih
menggunakan cara kekerasan.
Ian berkesempatan melakukan
wawancara dengan mantan Ketua FBR, (alm) Fadloli el Muhir.
Baca Juga:
Peras Pengendara Modus Pura-pura Tertabrak, Polisi Ringkus Preman Lansia di Tambora
Wawancaranya dengan pentolann
FBR itu sedikit banyak berhasil memotret perubahan wajah premanisme di Jakarta.
Temuan Ian, berdirinya FBR
lahir dari pengamatan kritis terhadap perkembangan ekonomi dan politik warga
Betawi.
Organisasi ini berusaha
merepresentasikan diri sebagai wadah bagi kelompok yang tersisih.
Baca Juga:
Ketua DPR: Negara Tidak Boleh Kalah dengan Ormas Pengganggu dan Meresahkan
Pembangunan Orde Baru,
menurut FBR, tidak menguntungkan orang Betawi.
Bahkan, kelompok ini
tersingkir di tanah mereka sendiri.
"FBR mengklaim bahwa
mereka merupakan korban tersia-sia dari apa yang disebut oleh pendiri kelompok
itu sebagai "preman berdasi", yakni mereka yang "memakai dasi, preman
berseragam, mereka yang ada di eksekutif dan legislatif, di kepolisian dan
ketentaraan"," tulis Ian dalam bukunya.