Peneliti Murdoch University,
Australia, Ian Douglas Wilson, dalam bukunya, Politik Jatah Preman: Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia Pasca Orde
Baru (2018), mengungkapkan, tindakan pengamanan yang dimaksud adalah
mengamankan dari ancaman berupa preman lain atau dirinya sendiri.
Menurut Ian, para jago ini
sudah ada sejak zaman pra-penjajahan.
Baca Juga:
Pemesan Aksi Anggota GRIB Pencuri Aset KAI di Semarang Diburu Polisi
Kebanyakan dari mereka memiliki
kemampuan fisik yang lebih, baik dengan ilmu bela diri pencak silat, serta
memiliki sejumlah kesaktian.
Dengan kemampuannya, para
jago biasa melakukan penyerangan, merampok, sekaligus melindungi kelompoknya
sendiri.
Saat Belanda datang, posisi
mereka tidak terganggu.
Baca Juga:
Raup Rp 90 Juta dari Parkir Liar, Polisi Bongkar Sindikat Preman di Jakarta Utara
"Kedatangan dan
perluasan berangsur kuasa kolonial Belanda tidak mengganggu jago. Baru pada
abad ke-19, seiring dengan menguatnya pemerintahan yang terorganisir secara
birokratis, peran mereka bergeser," tulis Ian, mengutip Schulte.
Di Jakarta, para Jago bisa
bekerja sendiri-sendiri, bersama-sama, atau mengikuti majikannya.
Robert Cribb, peneliti
Australian National University di Canberra, dalam bukunya, Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945- 1949 (2010), menyebut,
pada masa pendudukan Belanda, para juragan mengkoordinir buruh dan jago yang
memimpin kelompok perampok.