Kedua, menaikkan pendapatan negara lebih tinggi lagi. Namun, pilihan ini kemungkinan juga sangat kecil potensinya bisa dilakukan dalam keadaan serba sulit.
"Dalam keadaan serba sulit saat ini pemerintah semestinya justru melakukan relaksasi, sehingga akan mengurangi pendapatan," imbuh Ronny.
Baca Juga:
Lapas Sibolga Siap Dukung Dialog Presiden dengan Warga Binaan
Ketiga, menambah pemasukan negara dari utang atau penerbitan surat utang dalam jumlah yang besar. Risikonya, ke depan APBN akan semakin besar terserap membayari utang dan bunganya.
"Jika pemerintah baru mengambil opsi terakhir, maka harus benar-benar dipastikan dibelanjakan secara efektif dan produktif, agar mendorong pertumbuhan lebih tinggi, sehingga bisa menghasilkan penerimaan negara lebih tinggi di satu sisi dan bisa menekan ratio utang terhadap PDB di sisi lain," jelas Ronny.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan utang jatuh tempo Rp800 triliun di 2025 itu akan menjadi tantangan berat bagi APBN.
Baca Juga:
Kemen PPPA Dorong Kolaborasi Lintas Pihak Ciptakan Lingkungan Inklusif bagi Kelompok Rentan
Dengan kondisi fiskal yang sudah cukup berat, ia menilai pemerintah melakukan solusi model lama, yakni gali lobang tutup lobang untuk membayar utang.
"Bunga utang Rp800 triliun akan ditutup dengan mencari pembiayaan utang baru atau penerbitan SBN baru secara besar-besaran," kata Bhima.
Apalagi, selama ini Prabowo dinilai sangat terbuka untuk memperlebar ambang batas defisit yang saat ini maksimal 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).