"Ini adalah kondisi yang mengkhawatirkan karena penyerapan utang baru di pasar bisa menurun," jelasnya.
Bila kondisi tersebut terjadi, maka pemerintah akan kembali mengandalkan penerimaan pajak untuk menambah pemasukan negara.
Baca Juga:
Lapas Sibolga Siap Dukung Dialog Presiden dengan Warga Binaan
Tentunya ini akan memberatkan masyarakat karena pungutan pajak makin banyak. Sebab, penerimaan dari PNBP tidak bisa diharapkan karena harga komoditas unggulan Indonesia diperkirakan loyo di tahun depan.
"Dari pajak bisa makin banyak pungutan. Misalnya, tahun depan PPN (pajak pertambahan nilai) juga naik 12 persen. Ini yang dinamakan kondisi tidak sehat.
Karena Rp 800 triliun itu saja setara dengan 34 persen atau sepertiga penerimaan pajak 2024, yang ditargetkan sebesar Rp2.300 triliun akan habis untuk membayar utang jatuh tempo," jelasnya.
Baca Juga:
Kemen PPPA Dorong Kolaborasi Lintas Pihak Ciptakan Lingkungan Inklusif bagi Kelompok Rentan
Sementara, Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai nominal bunga utang dan utang yang tinggi harus betul-betul menjadi perhatian Prabowo dalam menyusun rencana belanja, termasuk program yang ingin dijalankan.
Hal ini mengingat dalam lima tahun ke depan ada beban utang yang rutin dibayar, selain utang jatuh tempo sebesar Rp 800 T.
"Akhirnya, pemerintah baru harus melakukan prioritas belanja yang memang dibutuhkan dalam kondisi terbatasnya ruang fiskal akibat keharusan melunasi utang yang jatuh tempo," katanya.