Banyak yang mati selama kelaparan
dahsyat di Korea Utara pada 1990-an, dan Cho berjuang keras mencari kerabat
untuk membantunya.
Setelah bertahun-tahun di jalan, dia
pergi ke rumah neneknya untuk membantunya bertani, tetapi dia segera menyadari
bahwa hanya ada sedikit harapan baginya --dia akan
selalu dikenal sebagai anak seorang "pengkhianat".
Baca Juga:
Meski Tertutup, Korea Utara Tetap Bisa Dipantau Media Korea Selatan
"Saya termasuk dalam kelompok
yang paling dibenci di Korea Utara karena ayah saya. Suatu kali saya memberi
tahu guru dengan berlinang air mata bahwa meskipun ayah saya seorang
pengkhianat, itu tidak berarti saya juga. Tapi mereka tidak mendengarkan," kisahnya.
Cho memutuskan untuk melarikan diri
dari Korea Utara --keputusan yang sangat menyakitkan
tanpa ada prospek untuk kembali.
Remaja laki-laki itu berhasil
melintasi perbatasan China dan tidak tahu apa yang akan terjadi di depannya.
Baca Juga:
Diduga Hasil Barter dengan Moskow, Kim Jong Un Pamer Rudal Baru
Saat mencoba melintasi perbatasan
Mongolia, Cho ditangkap oleh polisi, dipulangkan ke Korea Utara dan
dipenjarakan.
Kondisi di penjara membuatnya
mengalami trauma jangka panjang, hingga sekarang.
"Hal yang paling menakutkan
adalah mendengar jeritan tahanan di penjara. Dipukul sampai mati lebih
menakutkan daripada mati karena kelaparan. Trauma itu berlangsung begitu lama --bahkan setelah saya menetap di Inggris, saya sering terbangun di
malam dan bertanya-tanya di mana saya berada. Saya merasa seperti saya bisa
mendengar suara jeritan orang-orang yang dipukuli di sana," kata Cho.