Di sektor kepolisian juga tercatat hal sama, yakni 20% dari pendaftar pada tahun 2021 adalah orang Muslim.
Bahkan, BBC pada 2016 pernah menuliskan peningkatan jumlah tentara dari komunitas Arab-Israel membuat IDF membentuk tim bernama Gadsar.
Baca Juga:
Netanyahu Tawarkan Rp79 Miliar untuk Bebaskan Satu Sandera di Gaza
Gadsar beranggotakan sekitar 500 prajurit keturunan Arab, baik beragama Islam atau Kristen. Mereka bertugas di kawasan Tepi Barat, salah satu titik panas konflik Israel-Palestina.
Pemerintah Israel sebetulnya tidak mewajibkan komunitas Arab-Israel dan Badui ikut wajib militer. Namun, pemerintah juga tidak menutup pintu bagi mereka apabila ingin bergabung angkat senjata. Karena inilah mereka bisa dikatakan secara sukarela dan tanpa paksaan bergabung menjadi anggota IDF.
Kenyataan ini memang kontradiktif dengan garis perjuangan yang dilakukan mayoritas Muslim dan negara Arab untuk mendukung kedaulatan Palestina. Artinya, dengan bergabung menjadi tentara Israel secara tidak langsung mereka juga mematahkan perjuangan Palestina. Atau mereka juga secara tidak langsung menjadi 'mesin pembunuh' penduduk Palestina.
Baca Juga:
KTT Liga Arab dan OKI Sepakati Tekanan Global: Cabut Keanggotaan Israel dari PBB Segera!
Atas dasar inilah, keputusan menjadi tentara kerap dihujani kritikan dari rekan satu komunitas.
Meski begitu, keputusan menjadi tentara Israel juga tak bisa disalahkan karena bagi mereka inilah jalan terbaik untuk mencapai kesejahteraan. Sebab, selama hidup di Israel mereka kerap mengalami ketidaksetaraan ekonomi yang berujung pada tingginya kemiskinan dan pengangguran.
Riset terbaru oleh Ensherah Khory dan Michal Krumer-Nevo berjudul "Poverty in Arab-Palestinian society in Israel: Social work perspectives before and during COVID-19" (2023) menyebut 45,3% keluarga dan 57,8% anak-anak dari komunitas Arab-Palestina (nama lain Arab-Israel) berada di bawah garis kemiskinan.