Kedua, adanya kelalaian instansi atau otoritas sektor kefarmasian dalam pengawasan bahan baku obat dan peredaran produk jadi obat.
Ketiga, ketidaktransparanan terkait penindakan oleh penegak hukum yang dilakukan kepada industri farmasi.
Baca Juga:
Ketua BPKN RI Desak Travel Umrah Penuhi Hak Jemaah Haji Furoda 2025 yang Gagal Berangkat
Keempat, tidak adanya protokol khusus penanganan krisis terkait persoalan darurat di sektor kesehatan seperti lonjakan kasus GGAPA.
Kelima, belum adanya kompensasi yang diberikan kepada keluarga korban GGAPA dari pihak pemerintah.
Keenam, belum adanya ganti rugi kepada korban kasus gagal ginjal akut progresif atipika dari pihak industri Farmasi.
Baca Juga:
Larangan Air Kemasan Kecil di Bali Bisa Rugikan Konsumen, BPKN Ingatkan Hak Pilih dan Beban Biaya
Ketujuh, Bahan kimia EG dan DEG merupakan bahan yang termasuk dalam kategori berbahaya bagi kesehatan dan memerlukan pengaturan khusus.
"Kedelapan, belum dilibatkannya instansi atau otoritas lembaga perlindungan konsumen dalam permasalahan sektor kesehatan dan kefarmasian. Keterlibatan BPKN dan YLKI ini tentu hal penting ketika menangani kasus ini," bebernya.
Disetor ke Presiden