WAHANANEWS.CO, JAKARTA - Komnas Perempuan mengecam peristiwa pembunuhan jurnalis Juwita di Banjarbaru, Kalimantan Selatan yang terjadi pada 22 Maret 2025.
Komisioner Komnas Perempuan Maria Ulfah Anshor menyampaikan, pihaknya mengkhawatirkan tingginya jumlah femisida hingga saat ini, tetapi masih minim dikenali.
Baca Juga:
Komnas Perempuan: 3 Upaya Konkret Harus Dilakukan untuk Tekan Angka Kekerasan di Jakarta
Maria memandang, kematian Juwita dikategorikan sebagai femisida. Menurutnya, kasus femisida terhadap perempuan pembela HAM terus berulang dengan eskalasi kekerasan berbasis gender yang makin kompleks dan pelakunya termasuk aparat negara.
“Kematian Jurnalis J yang diduga dilakukan oleh calon suaminya menambah deret temuan Komnas Perempuan mengenai femisida intim yaitu pembunuhan yang dilakukan karena relasi intim seperti suami, mantan suami, pacar, mantan pacar sebagai jenis femisida tertinggi,” ujarnya dikutip dari Metrotvnews, Minggu (6/4/2025).
“Dalam kasus tersebut indikasi femisida sangat kuat yaitu adanya pembunuhan terhadap perempuan karena jenis kelamin atau gendernya dan sebagai akibat eskalasi kekerasan berbasis gender yang dialami sebelumnya oleh korban,” sambungnya.
Baca Juga:
Kasus Kekerasan Seksual IWAS, Komnas Perempuan Minta Penegak Hukum Terapkan UU TPKS
Selain itu, ada dugaan korban mengalami kekerasan seksual berulang sebelum dibunuh oleh tersangka yang merupakan prajurit TNI Angkatan Laut (AL) Kelasi I Jumran (J).
Maria menjelaskan, femisida intim menggambarkan superioritas, dominasi, hegemoni, agresi maupun misogini terhadap perempuan, dengan rasa memiliki perempuan dan ketimpangan relasi kuasa laki-laki terhadap perempuan.
Femisida intim menjadi salah satu bentuk eskalasi dari bentuk kekerasan yang dialami sebelumnya secara berulang oleh korban.
Komnas Perempuan mencatat pada 2024 dalam pemberitaan media massa kasus femisida terbanyak terjadi di ranah privat dengan 185 dan terjadi di ranah publik yang terekam 105 kasus.
“Hingga saat ini femisida minim dikenali karena ketiadaan data terpilah negara dalam dokumentasi kasus kekerasan terhadap perempuan yang berujung kematian,” katanya.
Komnas Perempuan pun menyampaikan sikap dan merekomendasikan hal-hal berikut:
1. Menyerukan kepada Detasemen Polisi Militer Pangkalan TNI Angkatan Laut (Denpom Lanal) Banjarmasin, Kalimantan Selatan dalam proses penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus femisida atas kematian J dilakukan secara transparan dan komprehensif, dengan menggali fakta terkait seperti relasi kuasa, rentetan bentuk kekerasan, ancaman, dan upaya manipulasi atau kekerasan seksual yang dilakukan pelaku.
2. Mengingatkan bahwa ada ketentuan hukum yang jelas terkait pelanggaran hukum pidana yang dilakukan oleh anggota militer aktif tunduk pada kekuasaan peradilan umum, serta memastikan pelaksanaan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual digunakan dalam kasus ini mengingat dugaan adanya kekerasaan seksual berulang yang dialami oleh korban.
3. Presiden RI segera memerintahkan Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan mengkoordinasikan pembentukan mekanisme “femicide watch” untuk mengenali dan membangun mekanisme pencegahan, penanganan dan pemulihan terhadap keluarga korban dengan Kementerian/ Lembaga terkait.
4. Mahkamah Agung melakukan pengawasan internal guna memastikan terselenggaranya peradilan yang adil, independen, dan tidak memihak, termasuk mencegah terjadinya upaya impunitas dalam proses hukum pembunuhan jurnalis J
5. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bekerjasama dengan Kepolisian Republik Indonesia, dan Badan Pusat Statistik, untuk mengumpulkan, menganalisis, dan mempublikasikan data statistik tentang femisida sebagai pelaksanaan dari Rekomendasi Umum Komite CEDAW No. 35 Tahun 2017 sementara sebelum terbentuk Mekanisme Pengawasan Femisida.
6. Panglima Tinggi TNI mendukung upaya melawan impunitas pada pelaku pelanggaran pidana umum, termasuk kekerasan berbasis gender terhadap perempuan yang dilakukan oleh prajurit TNI.
7. Menteri Hukum dan Menteri HAM segera melakukan koordinasi dengan kementerian/lembaga guna mewujudkan regulasi dan perlindungan perempuan pembela HAM.
[Redaktur: Sobar Bahtiar]