Zina
KUHP saat ini yang berlaku adalah sisa peninggalan penjajah Belanda sehingga mencerminkan kultur masyarakat Belanda. Salah satunya adalah tidak mempermasalahkan sepasang pria dan wanita melakukan hubungan seks di luar nikah atau zina sepanjang saling setuju atau kedua pasangan sama-sama mau. Perbuatan zina baru menjadi pidana bila salah satunya sudah menikah, atau kedua pasangan itu sudah sama-sama menikah.
Baca Juga:
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas Tegaskan Ibu Kota Negara Masih Jakarta
Nah, nilai di atas dianggap tidak sesuai dengan norma masyarakat timur sehingga zina dimasukkan delik pidana. Hal itu tertuang dalam Pasal 411 RKUHP:
1. Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, dipidana karena perzinaan, dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II.
2. Terhadap Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan:
- suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan.
- Orang Tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.
3. Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 30.
4. Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai.
Bagaimana dengan LGBT?
Baca Juga:
Cerita di Depan DPR Tangis Ibu Korban Bully PPDS Undip Pecah
Pemerintah dan DPR sepakat tidak mengkriminalisasi perbuatan lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Dalam draf sebanyak 624 pasal itu, tidak ada pasal yang mengatur mengenai LGBT.
"Undang-undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan," demikian bunyi Pasal 624.
Keinginan agar LGBT masuk sebagai bagian delik pidana sudah lama didengungkan. Sekelompok masyarakat meminta MK mengkriminalisasi LGBT. Perdebatan berjalan sengit hingga akhirnya MK angkat tangan dan menyerahkan proses kriminalisasi LGBT ke DPR.